Sebelum membahas tentang stereotipe etnik, lebih baik kita paham terlebih dahulu apa itu stereotipe. Mrnurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, stereotipe adalah “konsepsi mngenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat”. Menurut saya stereotipe ini muncul oleh suatu etnik yang ditujukan oleh kelompok etnik lain dalam wilayah pergaulan yang sama dikarenakan kedua etnik itu atau lebih saling bertemu dan melakukan kontak budaya.
Dalam hal ini, saya mengambil contoh riil dari corak dan pola kehidupan etnik Jawa dan Bali di Gilimanuk, Jembrana, Bali yang diambil dari buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1995 berjudul Corak dan Pola Kehidupan Sosial Budaya di Daerah Perbatasan, Suatu Studi tentang : Pelestarian Batas-Batas Etnik di Gilimanuk. Hubungan antara etnik Bali Dan Jawa dapat dikatakan cukup harmonis karena jarang muncul konflik antar etnik di daerah ini. Masing-masing etnik saling menjaga hubungan bertetangga dan tidak meyukai mencampuri urusan etnik lain, mereka lebih memilih untuk mengurusi kepentingan etniknya sendiri. Namun, hal ini tidak mengacuhkan kepedulian untuk keperluan etnik lainnya, misalnya apabila salah seorang dari etnik Jawa membutuhkan motor untuk keperluan sebentar, orang Bali tidak sungkan untuk meminjamkan motornya bahkan dengan helm dan STNK-nya. Bentuk kerjasama pun dijunjung ketika ada perayaan hari kemerdekaan, mereka akan mendukung banjarnya masing-masing tanpa memandang etniknya.
Karakter etnik Bali dan Jawa pun sama-sama dipahami oleh kedua etnik ini dalam hidup bertetangga. Hal ini dilakukan guna menghindari potensi konflik terutama dikarenakan perbedaan agama yang dianut, etnik Bali menganut agama Hindu dan etnik Jawa di Gilimanuk sebagian besar menganut agama Islam. Contoh pemahaman ini adalah kebiasaan etnik Bali menghidangkan makanan pada tamu atau etnik Jawa khususnya, warga etnik Bali agar tamunya menyantap makanan yang dihidangkan sebagai wujud persaudaraan bagi etnik Jawa. Namun, etnik Jawa enggan menyantap makanan itu dikarenakan takut yang dihidangkan itu mengandung babi atau makanan yang haram dalam hukum Islam. Timbullah rasa curiga pada etnik Jawa apabila dihidangkan makanan oleh etnik Bali, tetapi etnik Jawa memandang bahwa etnik Bali masih memiliki kejujuran yang tinggi. Rasa kepercayaan ini tumbuh dari hasil kerjasama yang harmonis antara kedua etnik ini. Sebenarnya selain kedua etnik besar itu yang tinggal di Gilimanuk, ada beberapa etnik lainnya yang relatif kecil, yaitu Madura, Bugis, Minangkabau, Batak, Ambon dan Papua. Saling menghormati budaya kedua etnik dijalin erat. Ketika umat Hindu Bali melaksanakan upacara pada hari besar Hindu, orang Jawa yang menganut agama Islam menghormatinya dengan tidak menggunakan pengeras suara ketika adzan dan iqomah. Etnik Bali dan Jawa selalu mengucapkan “saudara”. Ini mencerminkan keakraban hubungan mereka.
Keharmonisan pola-pola hubungan pun dijaga dalam pergaulan di pasar, terminal, dan pelabuhan. Namun, ada pandangan yang kurang baik oleh etnik Jawa dan Bali terhadap etnik Madura dalam hubungan sosial di pasar, yaitu orang Madura umumnya keras dan licik. Hal ini terungkap dari pendapat beberapa pedagang Jawa yang mengatakan pedagang etnik Madura itu keras dan menakutkan. Mereka tidak mau mengerti kesulitan orang lain. Lagi pula keinginannya untung terus dan apa-apa langsung cabut clurit. Anggapan ini diperkuat pedagang etnik Bali yang menyatakan etnik Madura itu menakutkan dan tidak mau diajak kompromi. Contohnya, pada suatu saat ada orang pinjam uang ke seorang pedagang etnik Madura untuk uang kembalian, karena lupa mengembalikan, orang Madura itu marah sambil membawa clurit. Dalam kehidupan sehari-hari memang pedagang etnik Bali dan Jawa selalu menjaga jarak dalam hal hubungan dengan pedagang Madura.
Hubungan antaretnik Bali dan Jawa telah terbina sejak lama. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari jarang menghadapi persoalan yang membawa konteks etnik. Justru etnik Bali dan Jawa berusaha untuk menjaga keharmonisan dan tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing etnik. Di Gilimanuk, walaupun batas-batas etnik diaktifkan dalam artian dihidupkan, tetapi tidak menimbulkan masalah karena masing-masing telah belajar menyesuaikan diri. Selebihnya diantara etnik yang berbeda itu berusaha saling menerima keadaan dan tidak mempertentangkan perbedaan-perbedaan yang ada sehingga mereka dapat hidup berdampingan. Persatuan dan kesatuan secara utuh akan terwujud selaras dengan semakin tingginya pengetahuan dan pendidikan mereka.