Sebagai penyandang predikat ‘kota pelajar’, Yogyakarta terus melakukan berbagai usaha yang berkaitan dengan peningkatan mutu dan kualitas pelajar di kota tersebut. Salah satunya adalah menghidupkan kembali program JBM (Jam Belajar Masyarakat). Dalam sebuah laman website, menurut penututan sekretaris daerah kota Yogyakarta, Titik Sulastri, pada 1980-an, program Jam Belajar Masyarakat (JBM) cukup berhasil dikembangkan di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk menghidupkannya kembali, tentunya disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini. Di lain pihak, kepala Dispora DIY, Drs., Baskoro Aji mengatakan perlu ada modifikasi program JBM baik dari segi regulasi dan pelaksanaannya. Program ini digagas oleh Drs. Wasis Siswanto yang prihatin karena anaknya tidak naik kelas, kemudian pada tahun 1980-an beliau mencetuskan program ini di kampung Karangwaru. Penerapan sistem ini melibatkan keluarga dan masyarakat. Sehingga, ketika anak belajar di rumah ditunggui oleh orangtuanya. Di samping itu, pengurus kampung juga ikut mengawasi jam belajar anak dengan cara keliling kampung setiap sore. Cara ini berhasil diterapkan di Kampung Karangwaru hingga akhirnya Gubernur DIY ketika itu mengeluarkan SK Gubernur No.97 Tahun 1999 yang menyatakan JBM perlu disebarluaskan di seluruh wilayah DIY. JBM perlu diterapkan kembali untuk mengembalikan semangat belajar di kalangan anak-anak.
Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan DIY, Prof. DR. Wuryadi, MS menilai bahwa keberhasilan penerapan JBM didasarkan pada tiga pusat pendidikan, yaitu pendidikan pada tingkat keluarga, pendidikan di sekolah, dan pendidikan di masyarakat. Ketiga lingkup pendidikan ini harus berhubungan secara harmonis. Pihak keluarga dan sekolah harus memahami dimensi kebutuhan anak. Penerapan regulasi JBM pada anak perlu dilakukan secara proporsional. Jika pada jaman dulu orang tua memberikan batas jam belajar pada anak maka regulasi seperti ini tidak cocok diterapkan pada kondisi anak jaman sekarang. Hal ini karena materi pendidikan yang dipelajari anak-anak jaman sekarang lebih luas sehingga pembatasan jam belajar tidak efektif diterapkan. Yang lebih utama, orangtua dan sekolah harus mengawasi anak-anak ketika mengakses informasi melalui internet. Anak harus diberikan pengertian tentang batasan informasi yang boleh diakses maupun yang tidak boleh diakses. Kebutuhan pendidikan yang dihadapi anak-anak era sekarang memang lebih kompleks. Di samping itu, di luar lingkungan keluarga maupun sekolah anak-anak mempunyai komunitas sendiri dan dikawatirkan bisa mengganggu belajar. Namun demikian, anak harus diberikan pengertian bahwa belajar secara kontinyu lebih baik dibandingkan belajar semalam suntuk hanya pada saat menghadapi ujian.
Permasalahan dan Data Temuan
Semenjak dimulai pada tahun 1980-an, pemerintah kota Yogyakarta pada dua tahunan terakhir ini mengupayakan menghidupkan kembali program JBM. Ini menandakan bahwa program ini pernah tidak berjalan dalam rentang waktu beberapa tahun. Lalu, mengapa program ini tidak berjalan dengan baik dan bagaimana peran orang tua, anak, dan masyarakat dalam mengawasi kegiatan belajar anak di rumah. Anak perlu mendapat perhatian dan pengawasan dari orang tua dan orang-orang disekitarnya. Program JBM ini telah di-perda-kan. Ini artinya apabila ada anggota masyarakat tidak mengindahkan termasuk pada perilaku melanggar. Meskipun anak diberi kelonggaran untuk dapat belajar di luar JBM, tetapi telah diberi waktu proporsional JBM dari sekitar pukul 19.00-21.00. Berdasarkan apa yang saya dapatkan dari media informasi dan pengamatan di kampung Jogonegaran, kelurahan Sosromenduran, kecamatan Gedongtengen, kota Yogyakarta, pelaksanaan dan penerapan program tersebut kurang diperhatikan. Ketika waktu sudah memasuki jam proporsional JBM di hari-hari waktu sekolah, banyak saya temui orangtua membiarkan anak-anaknya asyik menonton televisi, bermain bersama temannya, ataupun jalan-jalan. Meskipun demikian, ada juga orangtua dan anak-anak yang mengindahkan program tersebut dengan cara orangtua menyuruh anak mereka untuk belajar. Suatu fenomena yang ironi karena kampung tersebut terletak di pusat kota dan terdapat sekolah dasar, SMP, dan SMA sebagai tempat pendidikan formal di sekitar kampung tersebut. Fenomena kultural ini menjadi sebuah kajian yang menarik untuk diteliti, mengapa hal-hal tersebut pada masyarakat dapat terjadi, apakah masyarakat Jogonegaran belum sepenuhnya siap dalam menerapkan program JBM, apakah keluarga dan masyarakat yang mengabaikan, memiliki sikap skeptis terhadap program tersebut, tidak memberi perhatian untuk belajar kepada anak atau dari si anak yang memang tidak mau belajar? Pertanyaan-pertanyaan riset pun terus bermunculan pada temuan awal melalui media informasi dan pengamatan di lapangan. Objek riset direncanakan terpusat pada keluarga dan masyarakat yang menjadi sistem pelibatan program jam belajar dan mungkin akan meluas pada tahap penelitian selanjutnya.