Antropologi forensik merupakan suatu penerapan dan cabang dari antropologi biologi. Pada antropologi biologi kita mempelajari bermacam-macam variasi biologi dan budaya manusia dalam rentang ruang dan waktu beserta sebab-sebab, mekanisme dan akibat dari variasi tersebut. Oleh karena itu, antropologi biologi berbasis pada kajian populasi untuk mendapat data biologi manusia.
Antropologi forensik bersumber dari osteologi dan anatomi manusia yang merupakan terapan guna mengidentifikasi individu manusia dari data populasi dalam antropologi biologi. Bidang-bidang interdisipliner yang berkaitan dengan antropologi forensik yaitu bioarkeologi, arkeologi, antropologi anatomi, paleopatologi, tafonomi, geologi, kedokteran gigi dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang berkaitan dengan biologi manusia.
Antropologi forensik juga dapat didefinisikan sebagai kajian sisa jasad manusia yang jaringan lunaknya (daging, kulit, organ tubuh) telah hilang sebagian atau seluruhnya sehingga hanya menyisakan kerangka tulangnya saja dalam konteks hukum.
Pada konteks hukum ahli antropologi forensik diposisikan untuk bekerja sebagai konsultan akademis yang bekerja sama dengan penyidik di kepolisian, dokter forensik di kedokteran kehakiman maupun organisasi tertentu guna mengidentifikasi korban perang, kecelakaan transportasi, korban bencana alam atau tindak kriminal.
Kerjasama antara dokter forensik dengan antropolog forensik dalam kasus identifikasi individu mutlak diperlukan karena adanya perbedaan spesialisasi. Dokter forensik meneliti mayat basah dimana identitas individu masih dapat dikenali seperti masih adanya sidik jari atau wajah mayat korban karena jaringan lunak tersebut belum mengalami dekomposisi (penguraian).
Antropolog forensik memeriksa rangka manusia untuk individuasi (penentuan identitas individu) yang meliputi 1) penentuan temuan apakah tulang manusia atau hewan, 2) jumlah individu, 3) jenis ras, 4) jenis kelamin, 5) umur dan tinggi badan, dan 6) ada atau tidaknya trauma penyebab kematian.
Antropologi forensik bermanfaat untuk membantu penyidik dan penegak hukum untuk meneliti temuan rangka manusia yang tak dikenal. Temuan rangka biasanya ada pada daerah terpencil, permukaan tanah, dikubur pada lubang yang dangkal karena pelaku pembunuhan tergesa-gesa menguburkan korban, di sungai, rawa atau hutan.
Korban yang dikubur secara tak layak ini biasanya menjadi suatu indikasi adanya tindak pidana terhadap korban. Pada kasus forensik seperti ini antropologi forensik berguna dalam menentukan identifikasi temuan jasad. Ahli antropologi forensik tak diwajibkan hadir pada ruang persidangan sebagai saksi ahli, namun cukup dengan membuat laporan tertulis hasil penelitiannya. Akan tetapi antropolog forensik bisa saja diminta hadir di ruang persidangan sebagai saksi ahli.
Antropolog forensik berhak mendapatkan perlindungan hukum dari pelaku kejahatan yang bermaksud menghilangkan jejak korban.
sumber: Antropologi forensik: Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi Biologis dalam Konteks Hukum, karya Etty Indriati, penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta tahun 2010.