Pengertian Sustainable Development Goals (SDGs) at
au dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan”, adalah sebuah program pembangunan global yang dihasilkan dari kesepakatan antar kepala negara beserta perwakilan dari 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Markas PBB, New York, Amerika Serikat. Program ini juga merupakan kelanjutan dan pengganti dari MDGs (Millenium Development Goals/Tujuan Pembangunan Millenium). Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk mengintegrasikan SDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional. Juga menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata. Penanganan soal pendidikan berada di tujuan SDGs nomor empat.
Pada tahun 1994 Pemerintah Indonesia mewajibkan pendidikan dasar untuk anak dari umur 7-15 tahun di level Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun 2015 diharapkan mencapai target yang diharapkan yaitu anak-anak dimanapun berada dapat menyelesaikan pendidikan dasar mereka. Pencapaian pendidikan dasar ini diukur berdasarkan tiga indikator, yaitu angka pendaftaran Sekolah Dasar, proporsi murid yang menyelesaikan pendidikan dasar, rasio melek huruf di usia 15-24 tahun. Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia di tahun 2011 secara umum, pendidikan dasar tengah meningkat menuju target di tahun 2015.
Pada laporan pencapaian di tahun 2011, persentase pendaftaran sekolah dasar mengalami peningkatan yang signifikan dari 88,70 persen di tahun 1992 ke 95,55 persen di tahun 2011. Jika level persentase pada tahun 2011 dapat dipertahankan dan ditingkatkan maka diperkirakan Indonesia dapat mencapai MDGs pendidikan di tahun 2015. Angka Partisipasi Sekolah juga digunakan dalam mengukur partisipasi anak sekolah umur 7-12 tahun, berdasarkan Susenas mencapai 97,58 persen. Ini berarti hanya 2,42 persen anak-anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah.
Indikator yang anak usia sekolah yang menyelesaikan pendidikan dasar menunjukkan kemajuan yang signifikan. Di tahun 2011, 96,58 persen menyelesaikan pendidikan dasar, meningkat dari 62,0 persen di tahun 1990. Pencapaian nasional ini ada perbedana di dua provinsi khusunya di Papua berkisar dari 95,11 persen ke 96,88 persen di NTB. Di NTB, provinsi ini melebihi rata-rata nasional. Rasio ini didukung dengan mengurangi siswa yang drop out (dikeluarkan) dan peningkatan rasio kelanjutan sekolah.
Selain itu rasio melek huruf mengalamai kemajuan bagi laki-laki dan perempuan usia 15-27 tahun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Susenas, rasio melek huruf dari 96,60 persen di 1990 ke 98,78 persen di 2011. 98,80 persen untuk laki-laki dan 98,75 persen untuk perempuan. Pencapaian ini didukung oleh dua kunci utama. Pertama, pelayanan pendidikan dasar mencapai rasio pendaftarannya 102, 58 persen di tahun 2011. Kedua, adalah meningkatnya proporsi anak yang menyelesaikan pendidikan dasar SD/MI, dari kelas 1 hingga kelas 6.
Usaha-usaha pemerintah Indonesia untuk mencapai SDGs pendidikan di tahun 2030 juga didukung di antaranya ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar. Peningkatan kualitas guru sekolah dan pembangunan fasilitas sekolah yang memadai. Di tahun 2011, Indonesia menyediakan tenaga pengajar sebanyak 44.000 guru untuk semua level pendidikan. Diharapkan dengan langkah-langkah usaha yang progresif tersebut Indonesia dapat mencapai target SDGs-nya di tahun 2030. Apabila kita menyimak berbagai laporan MDGs Indonesia yang dikeluarkan oleh berbagai instansi pemerintah, secara umum pemerintah hanya mengejar target pendidikan dasar formal untuk semua kalangan rakyat agar tercapai seoptimal mungkin. Pemerintah hanya memastikan bahwa rakyat mendapat pendidikan dasar sesuai standar dengan segala teknisnya dan mengharapkan agar akses pendidikan rakyat pada tingkat selanjutnya tanpa halangan. Usaha pencapaian pendidikan dasar memang bermanfaat bagi rakyat, tapi dalam laporan MDGs pemerintah hanya mengejar pencapaian pendidikan dasar saja. Program tujuan pembangunan ini merupakan langkah pembangunan westernisasi bagi Indonesia, karena seutuhnya tidak semua program SDGs tepat bagi pembangunan Indonesia. Pemerintah kurang memperhatikan aspek kultur pembangunan pendidikan lokal.
Dalam perspektif antropologis, pendidikan merupakan gejala budaya. Menurut para antropolog, pendidikan adalah sistem budaya atau instruksi intelektual yang formal atau semiformal. Pendidikan adalah ciri masyarakat yang universal. Walaupun sebagai universalitas kebudayaan, sifat spesifiknya sangat berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Randall Collins (1997 dalam Mahmud, 2012) mengemukakan tiga tipe pendidikan yang ditemukan di seluruh dunia, yaitu (1) pendidikan keterampilan praktis; (2) pendidikan keanggotaan kelompok status; dan (3) pendidikan birokratis. Pendidikan keterampilan praktis dirancang untuk memberikan keterampilan dan kemampuan teknis tertentu yang dipandang penting dalam melakukan kegiatan-kegiatan pekerjaan lain. Menurut Collins, jenis pendidikan ini merupakan satu-satunya sistem pendidikan pada masyarakat ‘primitif’, tetapi dijumpai pula dalam masyarakat agraris dan sampai tingkat tertentu ditemukan dalam masyarakat industri modern. Contoh dari jenis pendidikan ini adalah melatih individu atau kelompok dengan keahlian seperti memasak, menjahit, menghasilkan kerajinan tangan.
Pendidikan kelompok status dilakukan untuk tujuan simbolisasi dan memperkuat prestise dan hak-hak istimewa kelompok elite dalam masyarakat yang memiliki pelapisan sosial. Pada umumnya, pendidikan ini dirancang bukan untuk digunakan dalam pengertian teknis dan diserahkan pada pengetahuan dan diskusi badan-badan pengetahuan. Pendidikan kelompok status bersifat seremonial, estetik, dan terlepas dari kegiatan-kegiatan praktis. Contoh pendidikan ini dalam konteks historis adalah memberikan ciri khas pada pria terpandang Jawa yang dalam pertemuannya dengan kelompok lain, menampilkan sifat kebangsawanan sehingga akan meningkatkan prestise kelompok statusnya. Pendidikan tipe berikutnya adalah pendidikan birokratis yang telah menjadi ciri khas masyarakat yang lebih kontemporer. Collins menyebutkan bahwa perkembangan sistem pendidikan sekolah modern ini timbul karena ada konsolidasi dari negara-negara birokrasi Eropa yang kuat dan tidak tergantung pada gereja Katolik. Pendidikan birokrasi diciptakan pemerintah untuk dua tujuan. Pertama, sebagai alat seleksi untuk merekrut orang-orang untuk mengisi posisi di pemerintahan. Kedua, sebagai cara menyosialisasikan dan mendisiplinkan massa agar memenangkan tuntutan politik mereka (Mahmud dan Ija Suntana, 113-116:2012).
Dari ketiga tipe pendidikan yang diuraikan oleh Collins tersebut, dapat dianalisis juga pada pendidikan tradisional maupun modern dalam konteks kultur di Indonesia. Ada teori dalam antropologi yang sampai saat ini masih mendominasi pemikiran antropolog kontemporer mengenai pendidikan. Teori berusaha untuk menjelaskan sifat pendidikan dan ekspansinya pada abad ke-19 sebagai akibat adanya persyaratan fungsional suatu masyarakat industri, khususnya persyaratan yang timbul dari perubahan teknologi dan ekonomi. Prinsip-prinsip utama teori ini diringkas oleh Collins (1979 dalam Mahmud, 2012) sebagai berikut (1) Persyaratan pendidikan untuk pekerjaan-pekerjaan masyarakat industri terus meningkat sebagai akibat adanya perubahan teknologi; (2) Pendidikan formal memberikan latihan yang diperlukan kepada orang-orang untuk mendapat pekerjaan yang menuntut keterampilan lebih tinggi; (3) Persyaratan pendidikan untuk bekerja terus meningkat serta semakin banyak orang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah. Dari teori fungsional tersebut pendidikan memiliki hubungan dengan unsur-unsur lain, seperti pekerjaan, keterampilan, dan kesejahteraan. Hal ini senada dengan teori fungsional Malinowski, pendirian teori ini adalah segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia dengan seluruh kehidupannya. Aktivitas kebudayaan terjadi karena karena kombinasi dari berbagai macam kebutuhan manusia (human needs) (Koentjaraningrat, 171: 1987). Pendidikan sebagai aktivitas kebudayaan ini dilakukan untuk memuaskan kebutuhan naluri manusia akan ilmu pengetahuan. Ilmu tersebut diberikan kepada orang banyak melalui pendidikan. Selain karena ilmu pengetahuan, pendidikan pada masyarakat kontemporer juga berfungsi untuk mendapat kebutuhan lain manusia berupa pekerjaan dimana nantinya akan berhubungan dengan kesejahteraannya. Ada banyak kombinasi dalam konteks pendidikan pada kehidupan manusia apabila dianalisa dan diterangkan dengan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Pada aspek MDGs, setidaknya pemerintah melihat aspek kebutuhan masyarakat dari sisi aktivitas kultur bahwa ada pengaruh fungsinya terhadap kebutuhan lain. Tidak hanya sekedar mengejar target pendidikan dasar formal dan birokratis karena standar program westernisasi yang bukan berasal dari Indonesia. Karena hal ini akan menimbulkan efek yang lain pada masyarakat yang tentunya tidak diharapkan, seperti pengangguran, penumpukkan tenaga kerja, dan kualitas sumber daya manusia yang kurang tergali.
Referensi:
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta:UI Press
Mahmud dan Ija Suntana. 2012. Antropologi Pendidikan. Bandung:Pustaka Setia
Stalker, Peter. 2008. Millenium Development Goals. Badan Pusat Statistik
SDGs di Indonesia: 2018 dan setelah itu, www.id.undp.org