Kasus konflik ini saya sarikan dari sebuah buku berjudul Konflik Antaretnik di Pedesaan, Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa karya Achmad Habib. Dalam buku ini dijelaskan konflik berupa ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi antara orang Jawa dan Cina di dusun ini. Konflik ini terjadi di wilayah pedesaan, yang pada umumnya pedesaan memiliki gambaran aman, tenteram, makmur. Ternyata pedesaan pun memiliki potensi permasalahan konflik antaretnik yang lazim ditemukan di kota-kota besar. Konflik ini terjadi di dusun Sumberwedi, diperkirakan terletak di Jawa Timur, dikarenakan penulis tidak menyebutkan nama kabupaten dan provinsi letak dusun itu berada.
Sebenarnya baik orang Jawa maupun Cina di dusun ini adalah para pendatang. Karena awalnya dusun tersebut merupakan tanah perkebunan milik kolonial Belanda, orang Jawa ‘didatangkan’ untuk menjadi buruh kebun. Tanah perkebunan yang luas menjadi terbengkalai setelah masa kemerdekaan. Tanah perkebunan yang meliputi juga wilayah hutan lalu dibeli oleh TNI untuk dijadikan sejenis lahan perkebunan dan markas TNI. TNI kemudian bekerja sama dengan orang Cina untuk membuka lahan perkebunan dan mengelolanya, ada juga yang disewakannya pada orang Cina. Inilah awal kedatangan orang Cina. Orang Cina melihat tanah pertanian di dusun Sumberwedi sanagat subur untuk bercocok tanam, oleh karena itu orang Cina melakukan berbagai cara untuk dapat memiliki tanah di Sumberwedi, sekurang-kurangnya bisa menyewa dari orang-orang Jawa yang memiliki tanah. Caranya adalah ada yang menikah dengan perempuan etnik Jawa dan menjadi warga tetap di dusun. Dengan usaha itu dan cara bercocok tanam orang Cina yang unggul, maka perekonomian mereka pun terus meningkat pesat. Orang Jawa di dusun Sumberwedi merasa tertinggal atau terampas hak-haknya, mengingat orang Jawa dijadikan ‘buruh’ dan orang Cina memiliki posisi sebagai ‘majikan’.
Ketegangan-ketegangan sosial yang muncul, pada dasarnya adalah adanya kesenjangan sosial-ekonomi antara orang Jawa dan Cina, serta terbatas dan kurangnya komunikasi antar kedua etnik tersebut. Hal ini diupayakan diredam dengan usaha membaurnya orang Cina dengan orang Jawa dalam kegiatan-kegiatan kampung, misalnya kerja bakti, gotong-royong memperbaiki masjid (orang Cina yang non-Muslim pun ikut serta dalam kegiatan ini), dan mengubah nama Cina mereka menjadi nama Jawa. Ada pandangan sosial-agama dari orang Jawa kepada orang Cina. Mereka, orang Cina yang mengubah namanya menjadi nama Jawa disebut Cino blangkonan, karena masih non-Muslim. Lain halnya dengan orang Cina yang masuk agama Islam, label sebutan ‘Cina’ tidak lagi melekat dari pandangan orang Jawa di dusun Sumberwedi. Bagi orang Cina yang masuk Islam, orang pribumi Sumberwedi menganggap mereka telah melepaskan identitasnya sebagai orang Cina.
Seiring berjalannya waktu dan melalui proses dan perjuangan yang cukup panjang, juga demi mengejar ketertinggalan dari orang Cina, maka orang Jawa mulai meniru cara kerja orang Cina yang kesehariannya ulet, rajin, dan tekun mencari uang dengan usahanya. Atas usahanya itu, mulai banyak orang Jawa yang berhasil dan setara dengan orang Cina. Malahan orang Jawa menganggap orang Cina adalah saingan usahanya, selain itu juga sebagai mitra kerjanya.
Pola interaksi kerjasama dan persaingan antara etnik Jawa dan Cina di dusun Sumberwedi menunjukkan bahwa pola kehidupan sosial-budaya yang dinamis. Walaupun konflik yang terjadi tidak sampai fatal dan memakan korban jiwa, seperti konflik etnik di Sambas, Kalimantan Barat. Gejala sterotipe yang diarahkan pada orang Cina dalam kasus ini, menurut saya adalah sebagai dampak dari kesenjangan sosial dan komunikasi. Hal ini kemudian dapat diatasi, salah satunya dengan dimulainya hubungan Cina dengan Jawa melalui perkawinan antara orang Cina dengan gadis Jawa dusun Sumberwedi.
Sumber:
Habib, Achmad. 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan, Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta