Oleh: Adwi N. Riyansyah

            Kelompok masyarakat pedesaan tidaklah semestinya dianggap sebagai kelompok sosial yang termajinalkan baik dari sisi ekonomi, status sosial, pendidikan, dan politik. Mereka dipandang sebagai kelompok yang kurang bertahan (survive) dalam mengatasi keadaan hidupnya karena tekanan dari luar. Berbagai pandangan subjektif atau stereotip yang ditujukan kepada kaum miskin pedesaan ini muncul dari faktor luar/ekstern maupun dalam/intern. Pandangan ini sengaja diciptakan dari kalangan orang elite pedesaan atau mereka yang lebih berkuasa dan mampu dari orang miskin. Faktor ekonomilah yang menjadi faktor penentu utama dan pusat dari fenomena ini. Meskipun ada faktor penyebab lain yang saling terkait dalam hal yang demikian.

            Menurut Bayo Ala (1981) unsur-unsur dari kemiskinan itu terrdiri dari : (1) nilai-nilai atau values, (2) kemiskinan itu multi dimensional, (3) adanya hubungan di antara aspek-aspek kemiskinan, (4) aktor kemiskinan, (5) pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai utama secara layak, (6) gap antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan secara layak, serta (7) akumulasi nilai secara sah. Yang dimaksud nilai tersebut adalah sesuatu yang dihargai tinggi oleh individu dan masyarakat. Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek material saja, tetapi juga aspek-aspek non-material. Lebih lanjut lagi Oscar Lewis dalam Bayo Ala 1981:17, kebudayaan kemiskinan adalah suatu kebudayaan dalam artian antropologi tradisional di mana ia mencerminkan suatu pola kehidupan, serangkaian penyelesaian/solusi yang siap pakai untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Oleh karena itu, ia menjalankan fungsi adaptasi yang signnifikan.

            Kaum miskin di desa bukan kelompok yang malas dan boros dalam kehidupan sehari-harinya. Namun, mereka ada tuntutan hidup yang sangat mendesak untuk konsumsi, kebutuhan pokok, dan menutupi keperluan lainnya. Mereka pun harus menyimpan tenaga mereka karena dari tenaga merekalah esok hari harus bekerja, menjual tenaga mereka dengan uang. Di pedesaan, deskripsi kelompok ini memiliki dua macam situasi yang spesifik. Pertama, kelompok sosial ini berada di wilayah yang terpencil dan tidak ada sumber daya yang memadai. Kedua, keadaan masyarakat itu yang di dalamnya terdapat ketimpangan yang mencolok antara kaya dan miskin. Selain ada pihak luar yang menjadi faktor luar ada juga faktor intern, contohnya dalam sebuah rumah tangga, ada anggota keluarga utama yang sakit padahal ia adalah tumpuan ekonomi keluarga. Hal inilah yang menyebabkan mereka harus bertahan dengan cara ada yang menjual ternak, menjual lahan kecilnya, berhutang, dan lain lain guna mengobati si sakit. Pada akhirnya mereka yang miskin pun bertambah miskin. Dari sumber referensi yang digunakan, inilah yang disebut dengan perangkap kemiskinan. Seakan-akan mereka tidak bisa mendapat jalan keluar dari perangkap ini karena membentuk sebuah mata rantai, jika kita melihatnya dari sisi rumah tangga miskin dan lingkungannya.

            Faktor adat kebiasaan pun dapat menjadi penyebab mereka bertambah miskin, misalnya saja dalam penyediaan uang mahar, mas kawin, dan biaya pesta pernikahan yang pada akhirnya mereka terpaksa berhutang bahkan menjual tanah dan hewan ternaknya untuk menutupi biaya tersebut. Terkadang mereka pun ingin menggelar pesta pernikahan yang meriah dan hendak menyamakannya dengan pernikahan kelompok masyarakat yang berada. Hal ini menurut saya adalah suatu fenomena yang menarik untuk dikaji. Di Cirebon misalnya, peristiwa kultural yang seperti ini kerapkali terjadi. Kelompok sosial yang dalam kondisi kurang mampu  ketika ingin mengadakan pernikahan. Mereka rela mengorbankan materi berharga yang mereka miliki untuk mendapatkan  moment acara pernikahan yang mereka anggap prestisius/mewah. Namun, dari apa yang diamati justru itulah perangkap kemiskinan bagi mereka dan membuatnya menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Hal ini karena mereka rela berhutang pada rentenir atau bank yang menyediakan suku-bunga pinjaman yang cukup tinggi. Namun, sepanjang pengamatan penulis, orang-orang desa di daerah tesebut, kerap memilih berhutang pada rentenir yang berstereotip ‘lintah darat’ karena bunganya sangat tinggi. Hal ini dikarenakan kalau mereka meminjam di bank, prosedurnya cukup rumit.

            Perangkap kemiskinan ini bagi mereka yang terjebak seakan tidak memiliki jalan keluar. Bantuan kredit dan subsidi dari pemerintah bagi kaum miskin pun acapkali dimainkan oleh orang-orang yang berkuasa agar bantuan itu terserap ke kantong “oknum”, bukan kepada yang berhak. Mereka tidak berdaya dalam kesengsaraannya. Kaum miskin tertekan secara psikis. Apabila kita menganalisis lebih luas lagi, justru ini akan menimbulkan kerawanan sosial, seperti pencurian, perampokkan, dan tindak kriminal lainnya. Butuh pemberdayaan bagi kaum miskin yang efektif agar mereka tidak dipermainkan oleh elit penguasa dan perangkap kemiskinan. Kebijakkan dan strategi untuk mengatasinya melalui pendekatan  meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran. Kedua strategi itu ditempuh dengan empat langkah kebijakkan, yaitu perluasan kesempatan tenaga kerja dan kesempatan berusaha; pemberdayaan masyarakat; peningkatan kemampuan/kapasitas SDM; dan perlindungan sosial.

Daftar Pustaka

  • Bayo Ala, Andre(ed.).1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Liberty: Yogyakarta
  • Sudarwati, Ninik. 2009. Kebijakkan Pengentasan Kemiskinan: Mengurangi Kegagalan Penanggulan Kemiskinan. Intimedia: Malang

Related Images:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *