Gamelan merupakan salah satu dari seni musik tradisional yang ada di wilayah Nusantara. Gamelan di Indonesia banyak terdapat di pulau Jawa dan Bali dengan berbagai jenis gamelan berdasarkan daerahnya, seperti gamelan Sunda, Cirebon, Jawa, dan Bali. Setiap suku-suku bangsa di pulau Jawa dan Bali memiliki kekhasan gamelannya masing-masing. Bahkan di wilayah Barat Indonesia, tepatnya di provinsi Kepulauan Riau terdapat jenis gamelan Melayu yang digunakan untuk mengiringi kesenian Mak Yong. Gamelan sebenarnya tidak hanya ada di pulau Jawa dan Bali saja. Tetapi tersebar di beberapa daerah di kepulauan Nusantara, termasuk di negara Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Tulisan ini merupakan suatu deskripsi apresiasi terhadap pementasan seni gamelan dalam pementasan tarian Jawa di kraton Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, diharapkan akan memahami dari literatur mengenai gendhing-gendhing yang digunakan untuk mengiringi tari Jawa klasik yang dipentaskan di bangsal Srimanganti, kraton Yogyakarta. Hal ini dilakukan supaya diharapkan dapat lebih menambah pengetahuan karawitan Jawa.
Bangsal Srimanganti merupakan suatu tempat dimana wisatawan domestik dan mancanegara dapat menyaksikan pagelaran berbagai seni Jawa kraton secara langsung. Biasanya wisatawan dapat menikmati pagelaran seni di hari Minggu sekitar pukul 10 pagi waktu setempat. Pagelaran kesenian ini merupakan kegiatan rutin yang diadakan keraton tiap minggunya. Di antara ragamnya seni tari Jawa kraton yang dipentaskan, dua di antaranya yaitu tari Bedhaya Jatipurna dan Golek Puspitasari. Adapun pementasan gamelannya yaitu ladrang Jagung laras slendro, kemudian dilanjutkan dengan ladrang Bolong pelog enam.
Tari Bedhaya dan Golek
Tari Bedhaya Jatipurno ditarikan oleh sembilan penari perempuan. Menurut informasi dari seorang pegawai kraton, tari ini menceritakan tentang kisah Dewi Sri yang memberikan kemakmuran di dunia. Tarian ini juga dipentaskan ketika ada upacara besar penobatan raja. Tarian Jawa klasik ini memiliki gerakan yang lembut dan pelan yang khas. Alunan gamelannya yang terkesan tenang dan lembut ini selaras dengan gerakan tariannya. Durasi waktu tarian ini boleh dibilang cukup lama yaitu sekitar seperempat jam. Tampilan busana para penari bedhaya juga makin memukau wisatawan asing dan domestik yang menonton. Lagu-lagu gendhing yang digunakan untuk mengiringi tari Bedhaya Jatipurna ini adalah gendhing Jatimardawa pelog enam, Jatipura pelog lima, Ndawah, Madusekar, Ketawang Rujit pelog enam, kemudian ayak-ayak, dan yang terakhir adalah Gatikridho.
Pagelaran tari berikutnya adalah Golek Puspitasari. Tari ini ditarikan empat orang penari perempuan. Menurut narasumber yang sama, tari Golek ini menceritakan gadis yang ‘mencari’ jati diri, hal ini tersimbol dari kata golek yang berarti mencari. Selain itu, selain menceritakan gadis yang mencari jati diri juga menggambarkan gadis yang berhias diri dan merawat tubuhnya sesuai dengan perilaku para gadis pada umumnya. Gerak tari ini lebih gemulai bila dibandingkan dengan tari bedhaya sebelumnya. Mungkin hal ini dikarenakan cerita di balik tari yang dipentaskan. Gendhing pengiring tarinya pun saya rasa agak bersemangat dibandingkan dengan gendhing tari sebelumnya. Nama gendhingnya adalah gendhing Larasati pelog enam. Busana para penari Golek dihiasi dengan warna merah muda sesuai dengan warna yang paling disukai oleh para gadis. Gerakan tarian juga menggambarkan tingkah laku seorang gadis pada umumnya, gerakan seolah-olah berhias diri dan disertai dengan gerakan mengibaskan kipas berhias bulu merah muda. Durasi waktu tari ini tidak terlalu lama, bila dibandingkan dengan tari bedhaya.
Gamelan tari
Kemudian pada bagian ini diterangkan agak rinci mengenai gendhing atau gamelan yang mengiringi kedua tari Jawa klasik tersebut. Mula-mula saya akan menjelaskan arti gangsa, bentuk kata halus dari gamelan. Kemudian saya menganalisis gamelan dari bentuk, laras, dan polanya. Menurut masyarakat Jawa, gangsa mengandung arti gang dari gegandhulaning urip (pegangan utama hidup) dan sa dari kata rasa. Jadi, gangsa ialah pegangan utama hidup yaitu rasa. Jarwodhosok semacam ini mengarah pada filosofi gamelan secara menyeluruh dan gamelan itu merupakan gambaran hidup kita. (Endraswara, 2008: 43-44)
Gamelan pengiring pada tari Bedhaya Jatipurna ada ayak-ayak. Ayak-ayak ini adalah suatu bentuk gendhing yang dalam satu rangkaian notasi balungan gendhing sebanyak sak gongan (satu kali gong dibunyikan), disusun atas beberapa gatra yang jumlahnya tidak menentu. Pada setiap gatra,kenong dibunyikan dua kali. Kemudian ada ketawang, bentuk ini termasuk dalam gendhing alit yang dalam satu rangkaian/susunan notasi balungan gedhing sebanyak sak gongan (satu kali gong dibunyikan), disusun atas empat gatra dan mempunyai jumlah nada dasar balungan gendhing sebanyak 16 sabetan (hitungan). Pada setiap dua gatra diakhiri dengan satu kali kenong dibunyikan/ditabuh. Ketawang ini terdapat pada salah satu gamelan pengiring tari Bedhaya Jatipurna yaitu ketawang Rujit pelog enam. (Endraswara, 2008: 90)
Laras gamelan
Dari larasnya, gamelan-gamelan pengiring di kedua tari ada yang berlaras pelog dan slendro. Pelog dan slendro akan menghasilkan perbedaan suasana dan kesan yang ditimbulkan bagi yang mendengarkan ketika gamelan dari kedua laras dibunyikan masing-masing. Laras slendro menurut Bram Palgunadi, menghasilkan suasana yang bersifat ringan, riang, gembira, dan terasa lebih ramai. Oleh karena itu, banyak adegan perang, perkelahian, atau baris pada pementasan wayang kulit atau orang menggunakan gendhing laras slendro. Tetapi pada komposisi dan permainan nada-nada tertentu, penggunaan laras slendro dapat memberikan kesan sebaliknya, yaitu sendu, sedih, atau romantis, misalnya pada laras slendro barang miring. Laras slendro ini bersifat lebih bersifat universal karena kemampuannya untuk membentuk dua kesan yang bertolak belakang, selain itu gamelan berlaras ini banyak digunakan orang.
Laras pelog, secara umum menghasilkan suasana dan kesan yang gagah, agung, keramat, dan sakral, khususnya pada permainan gendhing yang menggunakan laras pelog bem. Seperti pada laras slendro, laras pelog ini juga pada permainan nada-nada tertentu dapat memberikan kesan gembira, ringan, dan semarak, misalnya pada gendhing yang dimainkan pada laras pelog barang. Laras pelog pada dasarnya bisa dibagi menjadi dua golongan, yaitu laras pelog bem dan laras pelog barang.
Pola gamelan
Pola gamelan yang termasuk dalam gendhing-gendhing pengiring kedua tari tersebut adalah pola gendhing alit. Karena gendhing-gendhing tersebut berbentuk ketawang, ayak-ayak, dan ladrang. Selain itu ada pola lancaran lamba, lancaran mlaku, srepegan, sampak, jineman, palaran, dan lain-lain yang termasuk pola gendhing ini. Pola gendhing alit, secara umum biasanya mempunyai rangkaian notasi balungan gendhing yang relatif tidak terlalu panjang dan relatif tidak terlalu rumit strukturnya (Palgunadi, 2002: 510) dan menggunakan kethuk kalih kerep yang pada bagian merong terdiri atas satu gongan atau satu cengkok, misalnya ketawang dan ladrang (Endraswara, 2008: 85). Berikutnya, saya akan menguraikan tiga pola gendhing yaitu, ketawang, ladrang, dan ayak-ayak.
Pola ketawang adalah suatu pola gendhing alit yang dalam satu rangkaian/susunan notasi balungan gendhing sebanyak sak gongan (satu kali gong dibunyikan), disusun atas empat gatra dan mempunyai jumlah nada dasar balungan gendhing sebanyak 16 sabetan (hitungan). Pada setiap dua gatra diakhiri dengan satu kali kenong dibunyikan. Seluruh rangkaian/susunan notasi nada balungan gendhing dalam sak gongan mempunyai jumlah kenong sebanyak dua kali (rong kenongan), masing-masing pada akhir gatra kedua dan gatra keempat. Pada akhir gatra keempat, bersamaan dengan dibunyikannya kenong kedua, dibunyikan gong ageng (gong gedhe). Pola ini menggunakan kempul dan biasanya dimainkan dengan moda laya dan irama tamban (lambat) serta moda tabuh luruh (pelan).
Pola ladrang adalah suatu pola gendhing alit yang dalam satu rangkaian notasi balungan gendhing sebanyak sak gongan, disusun atas delapan gatra dan mempunyai jumlah nada dasar balungan gendhing sebanyak 32 sabetan (hitungan) dengan semua bagian terisi nada dasar. Pada setiap dua gatra diakhiri dengan satu kali kenong dibunyikan. Pola ini menggunakan kempul dan biasanya dimainkan dengan berbagai moda irama, laya, dan tabuh.
Pola ayak-ayak adalah suatu pola gendhing yang dalam satu rangkaian notasi balungan gendhing sebanyak sak gongan (satu kali gong dibunyikan), disusun atas beberapa gatra yang ‘jumlahnya tidak menentu’. Semua bagian, lazimnya terisi nada dasar. Pada setiap akhir gatra, kempul dibunyikan satu kali. Pola ini bisa dimainkan dengan berbagai moda laya, irama, dan tabuh (Palgunadi, 2002: 515-517)
Kesimpulan
Tarian klasik Jawa takkan pernah lepas dari gamelan pengiringnya yang membuat kesan tarian semakin indah untuk dinikmati. Berbagai laras dan pola gamelan dipadu sedemikian rupa sehingga menghasilkan pementasan tari tampak bagus. Gamelan Jawa atau gendhing Jawa memiliki susunan aturan, nada, dan bentuk yang cukup kompleks. Masing-masing ricikan/perangkat gamelan memiliki peran dan kaidah tata aturannya sehingga membuat alunan gamelan begitu harmonis dan selaras. Selain cukup kompleks, gamelan pun memiliki arti filosofis tersendiri yang berkaitan dengan kehidupan orang Jawa.
Sumber acuan:
- Endraswara, Suwardi. 2008. Laras Manis: Tuntunan Praktis Karawitan Jawa. Yogyakarta: Kuntul Press.
- Palgunadi, Bram. 2002. Serat Kandha Karawitan Jawi. Bandung: ITB