Oleh: Adwi Nur Riyansyah
Abstrak
Manusia sebagai makhluk sosial akan membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain. Komunikasi antar individu atau kelompok merupakan sebuah kebutuhan makhluk sosial. Dalam kegiatan keagamaan yang dilakukan secara bersama-sama, seperti pengajian, tentu akan menuntut terlibatnya komunikasi sosial banyak orang pada suatu lingkungan yang sama. Selain untuk meningkatkan keagamaan masyarakat secara umum, di dalam acara pengajian tentunya masyarakat akan melakukan kontak sosial guna lebih mendekatkan hubungan sosial mereka satu sama lain. Tulisan ini menguraikan fungsi kelompok pengajian di sebuah dusun di desa Gunungjaya, kecamatan Belik, Pemalang, dari segi manfaat dan efek sosial dari pengajian itu bagi masyarakat di dusun tersebut. Hasil dari tulisan ini akan kita ketahui dan memahami bahwa ritual pengajian keagamaan mempunyai fungsi bagi kehidupan sosial. Selain itu, manfaat sosial dari pengajian atau tahlilan akan kita temukan dalam analisis menggunakan perspektif fungsionalisme di tengah kehidupan mereka di daerah pedesaan Pemalang.
Kata kunci : masyarakat, fungsi sosial, keagamaan, Pemalang
Pendahuluan
Pada masyarakat pedesaan, hubungan kontak sosial menjadi kebutuhan yang tersendiri bagi kehidupan sehari-hari mereka. Saling bertegur sapa, menanyakan kabar, dan beramah tamah merupakan pemandangan sehari-hari yang biasa ditemui di desa-desa agraris Jawa. Hubungan mereka ini terjalin karena adanya kontak yang intensif disaat mereka sedang melakukan pekerjaan diantaranya ketika berdagang, bertani, berkebun, dan lain sebagainya atau pada saat kesempatan lainnya. Selain itu, menguatkan hubungan sosial saat kegiatan agama pun dapat menjadi sarana yang baik. Upaya untuk menguatkan komunikasi dan hubungan sosial antar masyarakat dapat terjalin ketika mereka bertatap muka, bertegur sapa saat berkesempatan dalam sebuah pertemuan kajian agama. Pemantapan dalam bidang agama pun menjadi kebutuhan pula bagi masyarakat desa. Terkait dengan hal tersebut, ritual religi dalam konteks nasional juga terdapat dalam masyarakat agraris di wilayah Indramayu, tepatnya di desa Lelea, masyarakat di sana kerap mengadakan ritual tahunan yang disebut dengan Ngarot. Arti dari upacara ritual ini adalah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan serta Dewi Sri, dewi padi dalam keyakinan mereka karena telah diberi limpahan rezeki berupa hasil panen padi. Selain itu, dalam upacara Ngarot, masyarakat di sana digunakan sebagai sarana untuk bersosialisasi, mengenal lingkungan dan masyarakat. Bagi muda-mudi kini dalam upacara Ngarot digunakan sebagai ajang mencari jodoh dengan memilih pasangan perempuan yang telah dirias sedemikian rupa. Hal tersebut sering dilakukan seiring upacara dan menjadi daya tarik Ngarot (diolah dari berbagai sumber).
Ritual tersebut memiliki fungsi selain bagi religi masyarakat tetapi juga kehidupan sosialnya sehari-hari. Ritual memiliki makna secara umum berdasarkan pandangan antropologi. Ritual pun juga memiliki makna yang berbeda dari sudut pandang masyarakat yang bersangkutan. Menurut Tremmel (1976), ritual merupakan sebuah penghormatan, menyesuaikan sikap dan perilaku sebagai bagian dari yang “disakralkan”. Ritual tidak dilaksanakan oleh seorang pelaku saja, namun dilakukan dengan banyak orang dalam komunitas agar mendapat keuntungan yang diharapkan dari ritual itu. Dalam banyak agama, ritual-ritual yang melibatkan satu komunitas ini adalah yang diistimewakan, menurut Tremmel, ritual ini akan membawa kemakmuran, kesuburan, kesehatan, dan produktifitas tanah yang meningkat. Di samping itu, ada pula ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, seperti kelahiran anak, pernikahan, dan kematian manusia (Tremmel,1976:114-115). Tremmel menyebutkan bahwa ada tiga macam ritual yang dilihat dari perilaku masyarakat, yaitu secular ritual untuk macam-macam tujuan sosial; religious rituals untuk bermacam-macam tujuan agama atau menyembah kepada dewa dan tuhan semata; dan quasi rituals yang merupakan percampuran antara ritual sekular dan religi (Tremmel, 1976:119). Hal tersebut mencakup segala sesuatu yang digunakan manusia untuk membuat hubungan dengan alam transedental. Hubungan tersebut, bersifat khusus atau istimewa sehingga manusia membuat sesuatu yang pantas dalam melaksanakannya. Inti dari ritual agama ini merupakan ungkapan “permohonan rasa syukur” kepada yang “dihormati” atau yang “berkuasa”. Oleh karena itu, upacara ritual diselenggarakan pada waktu dan tempat tertentu (Minarto, tt.). Apabila dilihat dari upacara Ngarot yang telah saya uraikan sebelumnya, maka berdasarkan pandangan Tremmel, upacara tersebut dilakukan sebagai upaya pensakralan terhadap Dewi Sri karena ia telah melimpahkan rezeki dengan meningkatnya hasil panen padi masyarakat. Dan bila dilihat dari jenis upacaranya, upacara Ngarot ini termasuk dalam quasi ritual, karena dalam upacara tersebut ada kebutuhan rasa syukur kepada tuhan dan dewi padi serta tercapainya tujuan sosial yaitu memenuhi kebutuhan panen padi.
Dari penelitian tentang religi yang dilakukan oleh penulis di dusun Salam, desa Gunungjaya, Belik, Pemalang, Jawa Tengah, pada bulan Januari 2013, religious ritual yang diwujudkan dalam bentuk pertemuan pengkajian keagamaan Islam yang dilaksanakan pada sore kamis. Menurut dukuh Salam dan ustadz dusun, pak Tohlani dan pak Abdul Karim, makna ritual religi berupa pengajian atau tahlilan bagi mereka merupakan hal yang menjadi kebutuhan masyarakat sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan yang dilakukan secara bersama-sama. Namun, antara laki-laki dengan perempuan kegiatan agamanya dilakukan secara terpisah karena pengaruh dari agama Islam yang mayoritas di masyarakat dukuh Salam. Selain diisi dengan kajian-kajian Islam, penggalangan dana kebutuhan sosial dan silaturahmi juga ada dalam kelompok pengajian ini. Berdasarkan pengamatan penelitian lebih lanjut, penulis menemukan fakta bahwa ritual keagamaan ini memiliki fungsi sosial bagi masyarakat dusun. Fungsi sosial dari ritual dan adat menurut Kabbery (dalam Koentjaraningrat, 1987:167) memiliki tiga tingkat abstraksi, dimana pada salah satu tingkat yang pertama, fungsi sosial dari dari suatu adat kebiasaan, pranata sosial, atau unsur kebudayaan berkaitan dengan pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial lain dalam masyarakat. Dari hal tersebut, dalam tulisan ini akan mengangkat masalah fungsi sosial ritual keagamaan dusun Salam, Pemalang, sebagai sarana hubungan sosial budaya masyarakat setempat. Di dalam tulisan ini akan mengupas mengapa masyarakat dusun Salam, Gunungjaya, menggunakan ibadah untuk mempererat ikatan sosial dan apa yang terjadi pada hubungan sosial masyarakat apabila kegiatan agama tersebut tidak dilakukan. Dengan menggunakan teori fungsionalisme dalam antropologi dan berbagai teori lainnya, penulis membahas fenomena budaya yang ditemukan.
Keadaan Masyarakat Dusun Salam Secara Umum
Dilihat dari aspek pendidikan formal, kebanyakkan komunitas masyarakat Salam hanya berpendidikan wajib belajar sembilan tahun, SD dan SMP, sedangkan lulusan SMA tidak terlalu banyak, apalagi lulusan perguruan tinggi sangat sedikit jumlahnya. Menurut kepala dusun dan masyarakat, hanya ada dua orang yang mengenyam perguruan tinggi. Satu orang lulusan perguruan tinggi negeri di Kebumen dan satu lagi masih kuliah di perguruan tinggi yang sama. Dari pendidikan masyarakat dusun ini yang masih tergolong kurang ini dikarenakan biaya pendidikan yang dianggap masyarakat masih mahal dan menganggap pendidikan tinggi kurang terlalu penting, walaupun ada beberapa masyarakat yang telah menganggap pentingnya pendidikan. Aspek ekonomi masyarakat, umumnya mereka dipenuhi dari hasil pertanian dan perkebunan, seperti padi, jagung dan umbi-umbian. Lapangan usaha pertanian di Salam ini masih luas. Oleh karena itu, mengapa sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani yang mengolah lahan pertaniannya sendiri atau sekedar sebagai petani penggarap. Di sektor peternakan, masyarakat Salam hanya sebagai sampingan saja. Masyarakat Salam ada yang memelihara kambing atau sapi untuk kebutuhan pribadi saat hari raya qurban atau dijual untuk menutupi keuangan. Pada sektor industri dan usaha, di Salam sangat lemah sekali, hanya beberapa penduduk yang bekerja di sektor industri pabrik, itupun di luar dusun dan desa. Usaha perdagangan, di Salam dapat dijumpai beberapa warung kelontong kecil yang menyediakan berbagai kebutuhan pokok sehari-hari bagi masyarakat sekitar.
Pada aspek lingkungan dan kesehatan, di Salam sampah rumah tangga masih dibiarkan dan dikumpulkan di kebun. Lingkungannya pun, kurang sehat karena kebanyakkan kamar mandi yang berada di luar rumah, jarang yang memiliki saluran air yang baik. Ada posyandu yang pada waktu-waktu tertentu digunakan untuk memeriksa kesehatan balita setempat. Apabila ingin ke Puskesmas mereka harus ke desa atau kecamatan. Pada aspek kehidupan beragama, mayoritas penduduk dusun Salam beragama Islam yang berafiliasi pada sunni Nahdlatul Ulama dan hanya dua kepala keluarga yang beragama Kristen. Ada fasilitas keagamaan berupa masjid Baitul Munawaroh dan dua mushala dalam satu dusun. Tidak ada rumah ibadah agama lain, selain masjid dan mushala.
Sarana Sosialisasi Masyarakat Dukuh
Menurut ustadz dusun, masyarakat Islam di dusun Salam merupakan masyarakat yang mengacu pada Nahdlatul Ulama yang sangat kental dengan kultur masyarakat pedesaan Jawa pantai utara. Ritual keagamaan Islam yang dilakukan oleh komunitas masyarakat dusun Salam, diisi dengan majlis taklim yaitu program kegiatan pengajian dalam meningkatkan pendidikan agama Islam. Ada koordinator kegiatan pengajian sekaligus pengisi acara pada setiap pengajian atau tahlilan (Yusriati dan Rukhani:1997), di Salam, koordinator dan pengisi acara dipegang oleh dua orang ustadz dusun, salah satunya di antaranya, yaitu pak Abdul Karim. Posisi beliau ini tidak hanya di dusun Salam saja tetapi kerap kali diundang di dusun-dusun tetangga dan tidak tetap, seperti di Salam. Pengajian yang dilaksanakan di Salam bersifat rutin. Artinya kegiatan pengajian ini dilaksanakan setiap sore Kamis, seusai sholat Ashar bagi laki-laki dan jumat siang seusai sholat Jumat bagi perempuan. Di dusun Salam, pengajian atau tahlilan bagi laki-laki dilaksanakan di rumah warga dengan sistem giliran, artinya setelah sebuah rumah warga digunakan sebagai tempat pengajian, maka rumah di sebelahnya akan menjadi tempat pengajian di sore Kamis berikutnya.
Bagi perempuan, kajian kegamaan dilaksanakan di mushola atau masjid tertentu. Pemisahan antara masyarakat laki-laki dan perempuan ini dalam pengajian, menurut ustadz dusun karena ada aturan dalam Islam yang memisahkan hubungan kontak laki-laki dan perempuan dalam kegiatan keagamaan. Lamanya kegiatan keagamaan ini biasanya berlangung sekitar dua jam. Materi dari pengajian mencakup ilmu agama Islam, seperti tafsir, fikih, dan lain-lain. Menurut kepala dusun, jumlah masyarakat yang menghadiri pengajian ini mencapai puluhan orang, hal ini dikarenakan jumlah penduduk dusun Salam yang relatif tidak banyak. Seusai pengajian agama Islam, baik laki-laki maupun perempuan, seringkali mereka bercakap-cakap, bersenda-gurau, dan menyantap hidangan tuan rumah yang disediakan. Dari kesempatan seusai, kegiatan keagamaan ini, saya amati bahwa masyarakat Salam, khususnya kaum laki-laki, mereka menggunakannya untuk berbincang-bincang menanyakan kabar masing-masing, keadaan pekerjaan, membahas keadaan dusun, keadaan anak, membahas apa yang telah disampaikan oleh ustadz, berkenalan dengan anggota masyarakat yang baru tergabung dalam pengajian dan lain-lain. Apa yang dilakukan oleh masyarakat Salam ini menunjukkan bahwa kegiatan pengajian ini digunakan mereka untuk bersosialisasi terhadap sesama anggota masyarakat dengan kapasitas yang luas, dimana hampir seluruh masyarakat laki-laki dewasa berkumpul pada kesempatan ini. Mereka berbincang-bincang santai sembari menikmati hidangan makanan yang disediakan tanpa ada batasan waktu dan ruang, apabila di luar kesempatan ini mereka hanya bertemu apabila berjumpa dan berpapasan dan atau bertegur sapa, selebihnya mereka disibukkan bekerja di kebun atau sawah.
Pengajian keagamaan sebagai ritual religius yang dilaksanakan masyarakat Salam ini mempunyai sarana sebagai langkah sosialisasi mereka terhadap anggota masyarakat lain apabila ada yang kurang kenal secara akrab, karena saya melihat bahwa pada kesempatan itulah masyarakat dapat bertemu satu dusun pada tempat dan waktu yang sama secara rutin tiap sore Kamis. Menurut pengamatan saya, selama di dusun Salam, pengajian akan membawa dampak pada hubungan sosialisasi masyarakat. Hubungan sosial masyarakat akan renggang, jika kegiatan pengajian ini tidak dilaksanakan. Masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk berkenalan dengan anggota masyarakat lain yang kurang kenal. Dampak lanjutan pada kehidupan sehari-hari adalah apabila ada anggota masyarakat yang kurang dikenal bertemu di jalan, maka kebiasaan bertegur sapa akan jarang terjadi. Menurut penuturan warga, mereka akan enggan menyapa karena tidak tahu nama, paling hanya menyapa dengan panggilan “pak” atau “bu” sambil tersenyum kepadanya. Walaupun sekedar menyapa, masih ada rasa kurang akrab apabila belum mengetahui nama, pekerjaan, dan latar belakang hidupnya.
Sarana Berbagi pada Sesama
Selain digunakan sebagai sarana sosialisasi, dalam kegiatan pengajian rutin ini para anggota dipungut biaya dengan nominal tertentu untuk dimasukkan ke kas pengajian. Uang kas ini nantinya akan digunakan untuk peralatan pengajian seperti sound-system, microphone, dan lain-lain tetapi menurut ustadz dusun, pak Abdul Karim, yang lebih utama dari uang kas ini nantinya akan digunakan untuk memberikan bantuan santunan, jika ada anggota pengajian atau masyarakat dusun yang sakit, meninggal dunia, atau terkena musibah. Uang kas pengajian yang didapat dari iuran anggota dapat diberikan kepada mereka yang berhak diberikan uang bantuan itu. Dari fenomena kultural ini, masyarakat Salam secara bersama-sama menggunakan kegiatan pengajian keagamaan sebagai sarana untuk mengumpulkan dana sosial yang nantinya digunakan untuk berbagi pada masyarakat yang tengah sakit, meninggal dunia, atau terkena musibah lain dengan cara berkunjung ke rumah yang akan diberikan bantuan.
Masyarakat Salam menjadikan kegiataan keagamaan untuk sarana berbagi pada sesama masyarakat dusun karena dari pengamatan saya, hanya dari kegiatan inilah masyarakat mengumpulkan uang atas dasar agama dan sosial yang sering disampaikan oleh ustadz sewaktu mengisi ceramah pengajian. Jika masyarakat tidak mengumpulkan uang untuk kas pengajian, saat ada anggota masyarakat yang sakit atau meninggal dunia, maka atas dasar komunal masyarakat tidak bisa memberikan bantuan dan bagi yang ingin dibantu akan memudarkan hubungan sosial terhadap masyarakat lainnya. Akan ada anggapan kalau masyarakat dusun tertentu itu pelit karena tidak memberikan bantuan atas nama kesatuan masyarakat dusun. Dengan kata lain, agama berfungsi memenuhi sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan, kegiatan agama itu melaksanakan tugas sosial tertentu, seperti berbagi kepada sesama yang membutuhkan (Nottingham, 1985:35).
Sarana Menjalin Komunikasi Antara Sesama Masyarakat Dusun
Ritual keagamaan seperti pengajian juga dapat berfungsi sebagai aktivitas yang dapat membiasakan setiap individu masyarakat agar memiliki sikap tanggung jawab sosial dan berguyub atau berkumpul bersama pada kegiatan yang lainnya. Dengan kata lain, menciptakan kesadaran komunikasi sosial, misalnya dalam rapat-rapat desa untuk mempersiapkan kegiatan-kegiatan hajatan pernikahan, pemilihan kepala desa, Hari Raya Qurban, Idul Fitri, dan lain-lain. Menurut kepala dusun, dirinya sebagai pemimpin dusun menginginkan warganya agar dalam diri mereka terbangun komunikasi yang kuat melalui partisipasi kegiatan pengajian, nantinya jika ada kumpul-kumpul bersama atau rapat dusun, masyarakat akan antusias hadir dan turut menyumbang ide dan tenaga saat kegiatan dusun atau desa berlangsung. Karena dari kegiatan pengajian ini yang berlangsung formal dan rutin komunikasi komunal dapat terjalin, di samping komunikasi sehari-hari dengan saling menyapa dan berkunjung.
Dari menjalin komunikasi antar masyarakat, selanjutnya akan terwujud pembiasaan diri dari warga untuk menghadiri rapat-rapat dusun atau desa sebagaimana hasil dari seringnya mereka mengikuti kegiatan pengajian. Dampak yang akan muncul jika mereka jarang mengikuti kegiatan pengajian ini, menurut tokoh masyarakat, akan terjadi kerenggangan komunikasi. Rapat-rapat dusun akan sedikit dihadiri oleh warga karena mereka saja jarang mengikuti pengajian apalagi rapat dusun atau desa. Ada pola hubungan antara ritual dengan kekuasaan atau kekuatan (Lavenda dan Schultz, 2013:58), dari kepala dusun terhadap anggota masyarakatnya. Kepala dusun, pak Tohlani menggunakan kekuasaannya supaya “mewajibkan” warganya untuk mengikuti kegiatan pengajian ini, dimana nantinya dalam diri warga akan terjalin komunikasi dan terbiasa ngguyub ketika ada rapat dusun.
Saya berpangkal dari Bronislaw Malinowski tentang teori fungsionalismenya. Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks, tetapi inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksiud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan kehidupannya. Aktifitas kebudayaan manusia terjadi karena kombinasi dari beberapa macam kebutuhan manusia (human needs) (Koentjaraningrat, 1987:171). Kegiatan pengajian yang mula-mula ingin memuaskan kebutuhan agama Islam masyarakat dusun Salam. Kebutuhannya itu muncul karena ada naluri untuk tahu. Dari ilmu-ilmu agama Islam yang disampaikan oleh ustadz dusun akan pentingnya menjaga hubungan sosial antar sesama muslim, maka masyarakat menjadikan kegiatan pengajian ini sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial di antara mereka. Hal ini merupakan kombinasi dari kebutuhan masyarakat dusun akan pengetahuan agama Islam dengan hubungan sosial, dimana kebutuhan ini adalah human needs berdasarkan teori fungsionalisme Malinowski. Dari analisa dan keterangan saya sebagai peneliti, akhirnya menemukan bahwa kegiatan pengajian keagamaan di Salam memiliki tiga fungsi yaitu sebagai sarana pengenalan masyarakat dusun; sarana berbagi pada sesama; dan sarana menjalin komunikasi antar sesama masyarakat dusun dengan ustadznya sebagai pemimpin agama dan kepala dusunnya sebagai pemimpin dusun.
Kesimpulan
Kegiatan ritual diidentifikasikan sebagai praktik sosial yang dilakukan secara berulang-ulang atau rutin (Lavenda dan Schultz, 2013:57). Kegiatan keagamaan di dusun Salam pun dilakukan secara rutin tiap sore Kamis dan Jumat. Atas pengaruh kombinasi ajaran agama Islam agar menjaga hubungan sosial antar masyarakat, maka atas temuan fakta kultur di lapangan bahwa masyarakat dusun menjadikan kegiatan ritual seperti pengajian ini sebagai sarana menjalin dan mempererat hubungan sosial di antara mereka. Berdasarkan teori fungsionalisme dari Malinowski, aktifitas pengajian yang pada dasarnya memenuhi dan memuaskan kebutuhan agama berhubungan dengan aktifitas mempererat ikatan hubungan sosial yang erat di antara warga dusun atas kebutuhan sosialnya. Selain itu, ada nilai-nilai suatu masyarakat yang dapat diintegrasikan dalam suatu tatanan atau sistem melalui kegiatan pengajian, pada saat itulah anggota-anggota masyarakat dapat bersatu menuju ke satu arah dalam tingkah laku mereka atau suatu keadaan yang mungkin tidak pernah tercapai secara sempurna sebelumnya (Nottingham, 1985:37-38)
Daftar Pustaka
– Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press
– Lavenda, Robert.H dan Emily A. Schultz. 2013. Core Concepts in Cultural Anthropology. New York: McGraw Hill
– Minarto, Soerjo Wido. “Jaran Kepang Dalam Tinjauan Interaksi Sosial Pada Upacara Ritual Bersih Desa”. Artikel Jurusan Seni dan Desain Fak. Sastra Universitas Negeri Malang
– Nottingham, Elizabeth K.1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali
– Tremmel, William Calloley. 1976. Religion: What Is It?. USA: Holt, Rinehart, and Winston
– Yusriati dan Bisri Rukhani. 1997. Pembinaan Kehidupan Beragama Melalui Masjid di Kota Kecil; Studi Kasus Masjid Agung Kabupaten Pemalang. Semarang: Departemen Agama RI