Air merupakan komponen dari alam yang sangat penting bagi kehidupan. Pada saat musim kemarau, air menjadi suatu barang yang sangat berharga bagi manusia. Air menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Sementara itu, apabila terjadi kelebihan air akan menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor yang akan memakan korban jiwa manusia. Eksistensi air di suatu wilayah juga sangat terkait dengan cara-cara masyarakat memanfaatkan dan mengelola tanah-tanah mereka (Awang, 2005: ix-xii). Oleh karena itu, cara pengelolaan sumber daya air dan kearifan lokal masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga ketersediaan sumber air.

Lingkungan yang menjadi tempat sumber air itu berada, turut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pola pelestarian, pengelolaan, dan kearifan lokal masyarakat agar air dan lingkungan ini tetap membawa manfaat. Melalui kearifan lokal, masyarakat dapat melestarikan sumber daya air berdasarkan kultur lokal masyarakat setempat. Salah satu kearifan lokal yang dapat dilakukan adalah melalui mitos-mitos yang dimunculkan. Mitos ini dapat berupa cerita-cerita tentang dewa-dewa yang menjaga alam atau dengan memitoskan suatu tempat, yaitu sumber air. Hal ini biasanya merupakan cara yang dilakukan masyarakat di pedesaan.

Kearifan lokal berupa mitos ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini karena merupakan cara local genius yang digunakan masyarakat untuk menjaga sumber daya air. Kasus yang diangkat adalah fungsi mitologi air di wilayah Tambakromo, Ponjong, Gunungkidul, Yogyakarta.  Mitos ini muncul karena ada pengetahuan masyarakat akan alam lingkungan disekitarnya (Sukari, dkk.. 2004: 83).  Pengetahuan ini muncul karena telah terjadi intreaksi antara alam dan masyarakat yang trejadi terus menerus sehingga menimbulkan hubungan timbal balik.

Kondisi Geografis dan Administratif Tambakromo

Sebagaimana kondisi geografis desa-desa lainnya di Kecamatan Ponjong yang berada di rangkaian bukit berbatu, desa Tambakromo pun demikian. Kawasan ini berada pada ketinggian 600-700 dpl. Desa ini terletak pada perbatasan dua deret pegunungan. Pegunungan Batur Agung di sebelah utara meliputi 60 persen dari wilayah Tambakromo, sisanya 40 persen berada di deret Pegunungan Kapur Selatan. Desa ini memiliki 11 dukuh, yaitu Tambakromo, Pijenan, Tukluk, Jimbaran, Bulurejo, Kanigoro, Klepu, Grogol, Garon, Sumberejo, dan Jambedawe.

Secara administratif, kelurahan Tambakromo berada di wilayah kecamatan Ponjong, kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di sebelah timur, yaitu kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Di bagian barat kawasan ini berbatasan dengan kelurahan Sawahan dan bagian selatan berbatasan dengan kelurahan Kenteng, kelurahan Pundungsari, Kecamatan Semin di sebelah utara. Secara keseluruhan, luas kelurahan Tambakromo adalah 1.132,360 ha. Dusun Klepu merupakan kawasan terluas di Tambakromo, luasnya 177, 172 ha, atau 15,6 persen dari keseluruhan luas wilayah Tambakromo, sedangkan Sumberejo adalah dusun yang menempati kawasan paling kecil dibandingkan dusun lainnya yaitu seluas 47,701 ha, atau 4,2 persen (Awang dan Nurhadi, 2005:10-11).

Secara umum, lahan di kawasan Tambakrejo dibagi atas tiga fungsi, yaitu pekarangan, sawah, dan tegalan. Pekarangan adalah satu lahan tempat bangunan rumah didirikan. Ini adalah satu runag privat. Bagi masyarakat Jawa, pekarangan ini memiliki arti penting, terutama berkaitan dengan proses produksi, konsumsi, dan edukasi keluarga. Lahan di kawasan Tambakromo juga diperuntukkan untuk keperluan areal persawahan. Umumnya, sawah berada di dekat sungai dan sumber-sumber mata air atau tempat-tempat yang relatif mudah diakses oleh aliran air. Sawah ditanami dengan tanaman pertanian, yaitu padi, kedelai, dan jagung. Padi ditanam sebanyak tiga musim dalam setahun. Pada musim sisanya, petani memilih menanami lahan sawahnya dengan tanaman jagung atau kedelai. Penanaman jagung dan kedelai dilakukan pada tiga bulan terakhir musin kemarau. Hal ini karena persediaan air pada musim kemarau semakin menipis, ditambah lagi dengan menyusutnya sumber mata air, baik yang ada di sungai maupun yang berada di dekat sawah mereka. Lahan juga dimanfaatkan sebagai tegalan. Tegalan mendominasi pemanfaatan lahan wilayah Tambakromo. Tegalan ini dimanfaatkan untuk tanaman jagung, kedelai, kacang, dan ketela.

Pengetahuan Masyarakat tentang Lingkungan

Lingkungan, secara umum, yaitu tentang apa-apa yang ada disekitar manusia. Segala sesuatu yang ada di alam ini erat hubunngannya satu sama lain. Antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan binatang, antara manusia dengan dengan tumbuhan, bahkan antara manusia dengan benda-benda mati sekalipun. Akhirnya, terjadi saling mempengaruhi antara tumbuhan yang satu dengan yang lainnya, tumbuhan dengan binatang, tumbuhan dengan manusia, dan tumbuhan dengan benda mati di sekelilingnya. Begitu juga saling mempengaruhi antara manusia dengan lingkungannya (Sukari, dkk., 2004:83). Sebagaimana yang diketahui bahwa ini adalah pengaruh ekologis yang terjadi di alam sekitar. Dari kondisi itu, manusia memiliki kemampuan untuk merubah lingkungannya. Posisi alam yang dirubah menjadikannya objek dari manusia, sehingga ada di antara mereka yang mengelola, merusak, dan hanya mengambil hasilnya saja. Mengingat manusia sangat dekat dengan alam, tentunya ada berbagai pendapat manusia tentang alam. Pendapat-pendapat penduduk berkaitan dengan alam tersebut selanjutnya dapat terkumpul sebagai pendapat kelompok atau kolektif. Persepsi penduduk sebagai pendukung kebudayaan atau pengetahuan setempat dapat terwujud secara kolektif yang pada akhirnya terbentuk persepsi penduduk secara umum (Sukari, dkk., 2004:84).

Dari sudut antropologi, pembentukkan persepsi itu sama halnya dengan terbentuknya sebuah gagasan kolektif dari suatu masyarakat lokal. Hal ini sejalan seperti yang dinyatakan oleh Emile Durkheim. Menurutnya, gagasan-gagasan dari sebagian besar individu-individu yang menjadi warga masyarakat tergabung menjadi kompleks-kompleks gagasan yang lebih tinggi, yang disebut dengan gagasan kolektif (Koentjaraningrat, 1980: 90-91). Penduduk memiliki persepsi yang berkaitan dengan alam, artinya alam merupakan objek yang setiap hari diamati, dikelola, dan ditangani oleh penduduk, sehingga persepsi yang disampaikan oleh penduduk akan menyeluruh. Oleh penduduk muncul persepsi bahwa lingkungan alam adalah tempat dimana mereka hidup, termasuk ladang, kebun, rumah dan binatang ternak, atau dengan kata lain, alam adalah tempat yang kita tempati dan tanami (Sukari, dkk., 2004: 83). Itulah persepsi masyarakat Jawa yang berkaitan dengan alam. Hal ini memberikan gambaran bahwa, bagaimana penduduk menyikapi alam lingkungannya agar tetap harmonis dengan mereka, terutama sumber daya air, sehingga mereka dapat terus mengambil hasil dengan mengolahnya. Persepsi semacam itu didapat karena masyarakat memiliki indera mata dan telinga yang setiap hari dapat menangkap berbagai permasalahan dan jalan keluar berkaitan dengan alam.

Mitos Awal Mula Desa Tambakromo

Asumsi pribadi menyatakan bahwa persespi dan pengetahuan masyarakat itu akan membentuk mitos berupa yang berisi cerita-cerita yang dimunculkan dan disebarluaskan dari mulut ke mulut serta bergenerasi sehingga menimbulkan suatu kontrol sosial agar menjaga dan melestarikan sumber daya air. Saya mengambil contoh kasus di desa Tambakromo, Ponjong, Gunungkidul. Di wilayah ini permasalahan air merupakan hal yang penting untuk dibahas apalagi berkaitan dengan mitos sebagai bentuk kearifan lokalnya. Nama Tambakromo mengingatkan kita pada satu lakon dalam cerita pewayangan, yaitu Romo Tambak. Dalam kitab Ramayana disebutkan bahwa ada satu bagian yang menceritakan kisah ketika Prabu Romo menyerang kerajaan Alengka. Dalam sub-bagian tersebut ada cerita dua bersaudara berselisih, yaitu Sugriwo dan Subali. Asal usul nama Tambakromo juga diambil dari kisah tersebut, menurut mitos yang berkembang di masyarakat, latar cerita mengambil tempat di kawasan ini.

Menurut cerita, dahulu kala, terjadi pertarungan antara Lembu Sora dan Jotho Suro melawan Sugriwo dan Subali. Tempat cerita mitos diambil yaitu gua Kis Kendowahono yang mengalir dua sungai bawah tanah. Sungai tersebut berasal dari dusun Klepu menuju ke barat, masuk ke Luweng Kumandang di dusun Tambakromo sampai di dalam gua tempat peperangan. Sebelum perang, Subali berpesan kepada saudaranya, Sugriwo, bahwa dalam peperangan nanti jika air sungai dalam gua mengalir warna merah, gua jangan ditutup karena merah adalah darah Lembu Sora dan Jotho Suro. Ini berarti mereka kalah. Sebaliknya, bila air dalam gua mengalir warna putih maka gua harus ditutup sebab Subali berdarah putih, yang artinya ia kalah. Namun, yang terjadi adalah sungai yang mengalir keluar berwarna merah dan putih. Melihat situasi ini Sugriwo segera menutup gua tersebut dengan sebuah gunung kecil. Dia menyangka bahwa akhir pertarungannya adalah sampyuh, artinya kedua belah pihak sama-sama menemui ajal. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Jotho Suro mati terkena senjata Subali sehingga darahnya berwarna merah mengalir ke sungai. Otak Jotho Suro yang berwarna putih ikut mengalir. Subali marah karena karena dia yang memenangkan pertarungan namun gua ditutup. Tutup gua ini kemudian ditendang sampai ke sawah dan Subali dapat keluar dari dalam gua. Subali segera menemui Sugriwo mengapa ia melakukan hal tersebut. Akhirnya mereka menceritakan kejadian yang dialami. Hal ini terdengar oleh Prabu Romo. Oleh Prabu Romo sungai bawah tanah itu dibendung agar tidak terjadi hal yang sama. Kini bendungan itu terkubur di dalam tanah. Gunung penutup gua yang jatuh ke sawah juga terkubur. Gunung tersebut kini disebut dengan gunung Tutup (Sarwoyo, Suranto, dan Nasiyo: 2000 dalam Awang :2005).

Mitos berfungsi sebagai charter atau piagam (Malinowski, 1994 dalam Awang dan Nurhadi, 2005: 19). Menurut Malinowski, mitos menuntun perilaku warga suatu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Mitos juga menciptakan ikatan kesadaran umum dalam keadaan emosi yang diperkuat dari ketergantungan setiap individu atas kehidupan dan tatanan masyarakat. Mitos juga menghubungkan makro kosmos dengan kesadaran mikro kosmos. Mitos adalah logika penjelas yang berfungsi menjawab teka-teki besar kehidupan masyarakat. Secara psikologis, mitos menciptakan rasa tenteram, nyaman, dan rasa bangga kepada diri dan lingkungan tempat orang atau masyarakat yang bersangkutan tinggal. Mitos juga merupakan suatu harapan, cita-cita, suatu kondisi ideal yang ingin dicapai baik secara individu maupun secara bersama-sama dalam suatu masyarakat (Awang dan Nurhadi, 2005:19).

Ada satu hal berupa komponen alam yang muncul dalam mitos awal mula desa Tambakrejo, yaitu sungai. Sungai dimitoskan tersebut sampai saat ini masih ada secara fisik. Bagian sungai yang konon dibendung masih bisa ditemukan. Secara fisik, beloknya aliran sungai Tambakromo lebih disebabkan faktor alamiah. Sungai yang mengalir ke selatan terhalang bukit yang cukup terjal, sehingga aliran sungai mengalir ke arah barat. Aliran yang berbelok ini memberikan kontribusi besar pada tingkat kesuburan tanah disekitarnya. Aspek lain yang muncul dari mitos ini adalah menjelaskan bahwa masyarakat setempat berkarakter agraris atau mayoritas bermatapencaharian sebagai petani. Sejak dahulu, mereka banyak bergantung pada lahan pertanian yang menghasilkan bahan pangan untuk mereka konsumsi (Awang dan Nurhadi, 2005:19).

Mitos Air dari Sudut Pandang Budaya Jawa

Manusia Jawa meyakini ada empat sumber dan penopang kehidupan manusia, yaitu tanah, air, udara, dan api. Keempat unsur itu harus ada dalam kehidupan. Semua dalam kadar yang pas. Bila kondisinya ada kekurangan atau kelebihan akan berdampak buruk pada kehidupan manusia. Dari keempat unsur itu, air berada pada posisi penting karena hanya substansi inilah yang ada dalam tubuh manusia, mengalir di dalamnya.

Air merupakan ciptaan Tuhan. Batas kewenangan manusia hanyalah menggunakan air tersebut untuk melangsungkan hidupnya. Bagi masyarakat Tambakromo, air memainkan peran penting dalam dinamika kehidupan masyarakat. Mitos pertempuran antara Sugriwo-Subali dengan Jotho Suro menunjukkan dominannya peran air. Bahkan pada akhir cerita, sungai Tambakromo dibendung agar di kemudian hari tidak menimbulkan perselisihan baru lainnya. Dalam hal ini air memiliki dua potensi, yaitu sebagai penjaga kohesivitas kehidupan masyarakat dan dapat pula berfungsi sebagai pemecah-belah antar masyarakat karena di banyak tempat, sumber-sumber air menjadi sumber perselisihan dan sumber ekonomi. Disamping menjaga kohesivitas, seperti yang telah disebutkan, air dapat berpotensi memecah belah kesatuan masyarakat, seperti misalnya ketika kelangkaan air terjadi. Kondisi psikologis yang tidak mengenakkan, ditambah dengan kejadian yang tidak menyenangkan, akan menimbulkan rasa curiga antar anggota masyarakat. Banyak kasus menunjukkan, air dapat menjadi sebab seseorang melakukan tindakan kekerasan, seperti pemukulan, penganiayaan, bahkan pembunuhan kepada orang lain.

Dalam pikiran orang Jawa, air dikaitkan dengan bencana dan kesuburan. Keyakinan ini seolah mendapatkan pembenaran dari cerita sejarah Geger Mataram. Pada sisi lain, air melambangkan kesuburan karena kehidupan bersumber pada air. Dalam konteks pengelolaan lahan, tanah hanya dapat dikelola manakala tersedia air pada kadar tertentu. Ketiadaan air berarti ketiadaan kesuburan begitu juga sebaliknya. Air begitu dominan dalam mitos masyarakat Jawa, sampai mereka menjadikan air sebagai salah satu metafor nafsu manusia. Nafsu yang menjadi metafor air adalah suatu kondisi kejiwaan yang penuh dengan ketenangan. Kedalaman pengetahuan dan kebijaksanaan manusia juga digambarkan seperti air. Semakin dalam pengetahuan dan kebijaksanaan manusia, dalam pandangan Jawa ini, semakin tenang pula pembawaan, sikap, dan perilaku manusia yang bersangkutan. Air dalam paham Jawa menggambarkan sifat ideal seorang manusia bahwa manusia itu haruslah memberikan manfaat bagi makhluk lain.(Awang dan Nurhadi, 2005:22-23)

Kesimpulan

Permasalahan pengelolaan sumber daya alam, salah satunya air adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya (Soemarwoto dalam Nurjaya, 2008:3). Dalam interaksinya, manusia mengamati dan melakukan adaptasi serta memperoleh pengalaman. Kemudian, mempunyai wawasan tertentu tentang lingkungan hidupnya. Wawasan manusia terhadap lingkungannya ini yang disebut citra lingkungan, yang menggambarkan persepsi manusia tentang struktur, mekanisme, dan fungsi lingkungan (Nurjaya, 2008:4). Seperti yang telah saya dikemukakan sebelumnya, bahwa persepsi-persepsi masyarakat inilah yang akan membentuk mitos terhadap sesuatu yang dianggap berharga. Melalui mitos, masyarakat mengagungkan air. Karena air ini, dalam kasus mitos di Tambakromo begitu berharga untuk mengairi lahan pertanian mereka. Mitos dimunculkan agar air sebagai salah satu unsur kehidupan orang Jawa ini, dijaga dan dikelola dengan baik. Kearifan lingkungan masyarakat Jawa ini pada hakikatnya berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan memberi warna serta mempengaruhi citra lingkungan yang terwujud pada mitosnya. Hakikat mitos yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan alam, sehingga tercipta keseimbangan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.

Walau mitos tampak tidak rasional dan tidak logis, tetapi secara nyata perilaku terhadap alam dengan pola-pola tindak yang bercorak mistis dan magis tersebut menciptakan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup. Perilaku masyarakat yang menetapkan tempat-tempat tertentu, khususnya sumber-sumber air sebagai tempat angker, keramat, sakral, merupakan strategi yang efektif untuk melindungi dan melestarikan sumber daya air dari tindakan negatif manusia, sehingga fungsi air dari hutan, sungai, danau atau telaga tetap terjaga secara berkelanjutan (Nurjaya, 2008:7).

Daftar Pustaka

Awang, San Afri (ed.).2005. Kelangkaan Air: Mitos Sosial, Kiat, dan Ekonomi Rakyat. Yogyakarta: Debut Press

Koentjaraningrat.1980. Sejarah Teori-Teori Antropologi-Sosiologi. Jakarta UI Press

Sukari, dkk. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Kabupaten Pasuruan Propinsi Jawa Timur. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

Syafaat, Rachmad, dkk. 2008. Negara, Masyarakat Adat, dan Kearifan Lokal. Malang:In-Trans Publishing

Wulandari, Wiwik Fitri.2013. PKM-AI: Kearifan Lokal Masyarakat Ponjong dalam Mengelola Air di Kawasan Karst. Yogyakarta: FIB UGM

sumber gambar: https://www.jekabpils.lv/lv/jaunumi/2013-09-12/sia-jekabpils-udens-informe

Related Images:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *