Tulisan ini merupakan pandangan opini dari beberapa bab dari buku Celia Lury yang berjudul Consumer Culture (1996). Beliau adalah profesor yang berkontribusi dalam pengembangan studi budaya dari Universitas Warwick, Inggris. Dalam buku Consumer Culture, beliau banyak membahas banyak hal tentang budaya materi, budaya konsumen, dan hubungan antara keduanya dan pengaruh dari berbagai hal. Buku yang awalnya tesis ini adalah budaya konsumen yang berkembang dalam masyarakat Eropa-Amerika pada paruh kedua abad ke-20. Lury mengistilahkan ‘budaya materi’ sebagai suatu yang penting untuk menunjukkan bahwa materi dan budaya selalu berkombinasi dalam hubungan-hubungan yang spesifik dan khusus.
Menurutnya, dalam memahami konsumen dan budayanya pasti akan berhubungan dengan materi atau benda yang dipakainya atau digunakannya, dan bahkan dihabiskannya. Karena itulah perilaku konsumen dalam memperlakukan materi yang dimilikinya. Konsumsi yang dirujuk melalui budaya konsumen dari lensa budaya materi dapat dilihat sebagai konversi atau lebih tepatnya ‘perilaku’ manusia yang mengubah benda-benda ‘materi’ untuk tujuan mereka. Kata ‘perilaku’ menjadi salah satu dari banyaknya kajian ilmu-ilmu sosial budaya, termasuk antropologi.
Pokok dalam buku tersebut adalah mengidentifikasi kekhususan budaya konsumen sebagai bentuk budaya materi dalam masyarakat Eropa-Amerika kontemporer. Munculnya kecenderungan konsumsi oleh Lury, dipahami sebagai penggenapan produksi di pasar dan konsumsi dipandang sebagai tindakan atau perilaku responsif atas produksi yang ada. Tesis beliau yang saya kutip bahwa “Proses pembentukkan gaya hidup merupakan apa yang terbaik mendefinisikan budaya konsumen”. Proses-proses ini akan berhubungan dan bertemu pula oleh kemiskinan yang dialami oleh manusia. Kemiskinan membatasi kemampuan untuk memilih, oleh karena itu, status ekonomi merupakan indeks fundamental mengenai kemampuan untuk berpatisipasi dalam konsumsi.
Lury menegaskan bahwa status ekonomi menetapkan batas tertentu bagi partisipasi individual dalam konsumsi atau praktek kebebasan mereka dalam membuat pilihan (konsumsi). Budaya konsumen dapat dipandang untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi politik identitas. Materi yang dimiliki oleh individu menjadi simbol identitas baginya, meskipun tidak semua materinya berguna dan bermanfaat dalam kesehariannya. Menurut saya, pada kebanyakkan kelompok sosial kelas menengah akan menjadikan materi sebagi identitas eksistensi bagi mereka sekaligus simbol kemakmuran ekonomi yang diperolehnya.
Lury mengidentifikasi beberapa gambaran utama yang membedakan budaya konsumen sebagai sebuah bentuk spesifik budaya materi. Beliau memberikan kajian antropologis dari Mary Douglas dan Baron Isherwood. Oleh mereka, benda-benda (materi) tidak hanya dimaknai dalam kacamata nilai ekonomis saja, tetapi benda dimaknai sebagai konteks budaya. Dari perspektif yang khas antropologi ini, benda-benda materi bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu tetapi juga mempunyai makna dan bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam hubungan sosial. Hal ini dikarenakan Douglas dan Isherwood bertolak pada benda-benda untuk upacara-upacara (masyarakat tradisional), menurut mereka, lewat pendekatan ini akan terungkap bahwa ada kesamaan dalam cara masyarakat tradisional dan modern membuat ‘makna’ melalui pemanfaatan benda-benda materi. Douglas dan Isherwood juga menyatakan bahwa individu akan berusaha keras menempatkan diri dalam posisi yang strategis yang memungkinkan mereka tidak hanya meraih akses tetapi juga mengendalikan makna budaya. Individu melakukan itu semua untuk memastikan dirinya tidak dimarjinalkan oleh sistem. Dari pernyataan mereka fenomena kultural ini sering ditemui pada fakta sosial di masyarakat industrial modern yang didominasi kelompok pekerja.
Lury juga menyertakan pendekatan antropologis lainnya dari Marshall Sahlins mengenai totemisme untuk mengembangkan sebuah analisis tentang konsumsi (makanan dan pakaian) dalam masyarakat Barat modern. Totemisme adalah asosiasi simbolik dari tanaman, hewan atau objek-objek dengan individu atau sekelompok orang, dan gambaran karakteristik masyarakat tradisional. Sahlins menerapkannya dalam masyarakat modern. Sahlins menunjuk contoh bagaimana bagian pakaian dapat bertindak sebagai totem, mengkomunikasikan identitas sosial dan mengidentifikasikan berbagai kelompok sosial (suku).
Contoh lain yang senada secara analisis antropologis juga diungkapkan Paul Willis mengenai klub sepeda motor, Willis menyatakan bahwa sepeda motor itu sebagai semacam totem bagi kelompok pemuda. Sepeda motor tidak hanya sebagai lata transportasi belaka, tetapi totem maskulinitas kelompok itu. Selanjutnya, Lury juga menyinggung bagaimana sebuah artefak merupakan produk kerja manusia yang mempengaruhi kapasitasnya untuk bertindak sebagai totem. Untuk interpretasi ini, beliau menyertakan analisis Karl Marx mengenai ‘penyesuaian’ yang disebutnya cara produksi kapitalis.
Beliau menawarkan gagasan bahwa budaya konsumen dapat dipandang sebagai sebuah contoh atau sejenis budaya materi. Lury juga banyak menggunakan literatur antropologis mengenai budaya materi. Menurutnya, konsumsi selalu merupakan proses budaya seperti halnya sebuah proses ekonomi. Hal teresebut dapat dibuktikan dengan melihat bagaimana kegunaan benda-benda materi itu (artefak) sebagai sarana penciptaan identitas sosial yang oleh Sahlins disebut sebagai totem dalam masyarakat modern atau dengan melihat bagaimana benda-benda itu sampai mempunyai kehidupan sosial. Dalam membahas budaya materi dan budaya konsumen ini, Celia Lury tidak hanya menggunakan analisa pribadinya saja, tetapi juga dia menggunakan berbagai pendekatan strategis dari berbagai ilmu sosial-budaya, seperti antropologi dan ekonomi. Karena budaya konsumen tentunya sangatlah berkaitan erat dengan kajian ilmu-ilmu tersebut.
Sumber acuan:
Lury, Celia. 1996. Consumer Culture. New Burnswick, New Jersey: Rutgers University Press.