Mike Featherstone dalam tulisannya dengan berjudul asli Consumer Culture, Symbolic Power, and Universalism, sepertinya menegaskan dan memberi pemahaman lebih lanjut dari tulisan Arjun Appadurai yang berjudul Disjuncture and Difference in thee Global Cultural Economy, terutama yang terkait dengan globalisasi dan universalisme. Featherstone menerangkan bahwa konsumsi massa saat ini tidak lagi dipandang sebagai konsumsi masyarakat terhadap barang-barang material, tapi kini mereka (masyarakat) telah beralih pada konsumsi kesan, simbol, dan makna. Hal tersebut berpijak atau berawal pada budaya konsumen ini menciptakan produksi tanda yang terus-menerus dibuat sebagai dampak konsumsi massa. Budaya konsumen yang sering diberi label materialis karena sering menggunakan barang-barang memusatkan kehidupannya pada tindakan konsumsi itu. Kemudian, konsumsi barang itu beralih pada membeli “kesan” dari aktivitas konsumsi barang.
Mengutip dari tulisan Featherstone, kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi belaka, melainkan lebih merupakan interaksi simbolis di mana individu membeli dan mengkonsumsi ‘kesan” itu. Fenomena tersebut berawal dari bagaimana barang-barang yang dipajang di toko-toko atau pasar swalayan dikemas sedemikian rupa hingga menarik konsumen untuk membeli “kesan” dari barang yang terlihat biasa itu. Pada contoh lain juga ada dalam tawaran-tawaran produk wisata yang menjual “pengalaman” dan bukan menjual barang. Oleh karena itu, Featherstone menegaskan bahwa budaya konsumen tidak dapat dianggap sekedar sebagai suatu budaya materialis rasional lagi. Dalam tulisannya ini, ia terkesan memberi pemahaman adanya perbedaan pola konsumsi dan gaya hidup yang didasarkan atas perbedaan kelas-kelas pada masyarakat. Kelas-kelas dalam masyarakat menggunakan barang dengan pola konsumsi masing-masing sesuai tujuannya. Kemudian disimpulkan bahwa perbedaan barang dan pola konsumsi dapat dipakai untuk memperjelas perbedaan antara kelas-kelas dan sub-sub dalam masyarakat. Featherstone mengambil contoh dalam masyarakat industri di Eropa dan Amerika terhadap perbedaan tersebut pada kaum borjuis, intelektual, dan kaum pekerja.
Budaya konsumen itu ialah budaya dimana tempat berbagai kesan memainkan peran utama. Dari “kesan” itu muncul sebuah pemaknaan simbolis. Masing-masing kelas, misalnya kelas pekerja memiliki simbol-simbol tersendiri yang disebabkan perbedaan-perbedaan selera. Oleh Featherstone, simbol ini memiliki kekuatan untuk menggunakan logika yang dapat menghasilkan perbedaan dan martabat yang berperan dalam reproduksi berbagai hubungan yang ada antara kelas dan sub-kelas. Pada pola konsumsi dan gaya hidup sub-kelas pekerja yaitu sub-budaya remaja, misalnya, juga terdapat peralihan sebagaimana pola konsumsi yang telah disebutkan sebelumnya. Hal itu dikarenakan pola konsumsi dan gaya hidup remaja itu “diambil-alih” oleh kaum dewasa. Budaya remaja yang cenderung menentang ini akan cepat beralih ke yang lain. Peralihan dan kegoyahan itu dikarenakan ada pembaharuan dan perubahan makna simbolis barang yang penuh gaya untuk meciptakan efek individual baru yang menjadi ciri kegiatan dalam mempromsikan gaya hidup budaya konsumen.
Budaya konsumen pada akhir abad ke-19 dan awal abad 20, produksi dan distribusinya dikuasai oleh Amerika Serikat. Featherstone mengambil contoh pada kasus konsumsi media massa. Di negara-negara Dunia Ketiga, mereka seakan-akan tidak berdaya dalam arus masuknya berbagai media yang menampilkan cara hidup Amerika. Karena ekspansi media ini, maka terlihat seperti imperialisme media, Amerikanisasi. Mattelart menjelaskan dalam pernyataannya yang dikutip Featherstone, bahwa media massa dipersiapkan untuk menjadi budaya universal yang mendorong ekspansi kekaisaran dan bersamaan dengan itu perbudakan kesadaran nasional tiap-tiap negara. Meskipun demikian, melalui pengembangan-pengembangan diferensiasi regional dan etika, muncul sebuah keragaman yang merupakan ciri khas dari universalitas budaya konsumen yang terjadi dalam beberapa tingkat yang didasari oleh kemajuan material, produksi, dan budaya konsumen itu.