Hakikat kegunaan ilmu antropologi sebagai ilmu murni adalah bagaimana dapat memahami gejala-gejala budaya, menemukan penjelasan mengenai aneka ragam dalam pola budaya manusia di berbagai penjuru dunia. Untuk itu telah berkembang berbagai teori dan dalam penelitian lapangan berbagai teori itu diuji. Kemudian, sebagian dari para ahli antropologi juga yakin bahwa akhir-akhirnya dapat juga disimpulkan beberapa keteraturan dalam suatu unsur-unsur kebudayaan.
Selain menjadi ilmu murni, hasil-hasil kajian ilmu ini juga hendak diterapkan yaitu untuk digunakan dalam pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Pada masa lalu, saat kolonialisme dan imperialisme sedang berjaya, antropologi budaya telah digunakan oleh pemerintah kolonial untuk memperkaya keuntungan yang dapat diambilnya dari negeri jajahannya. Sehubungan dengan itu maka ada prasangka terhadap masalah penerapan antropologi budaya. Namun akhir-akhir ini kesungguhan untuk mencoba memanfaatkan pengetahuan ahli antopologi untuk memperlacar jalannya program-program yang direncanakan untuk mencapai perubahan kebudayaan semakin besar.
Pada bagian pembahasan ini ada beberapa hal antropologi terapan yang dibahas sepertinya perlunya kode etik yang khusus untuk mereka yang aktif menerapkan antropologi budaya, hal-hal yang harus diperhatikan dan hal-hal yang musti diabaikan.
Semua kebudayaan mengalami perubahan. Ada perubahan budaya yang terjadi dengan cepat dan ada juga lambat. Perubahan kebudayaan ini dapat terjadi secara tidak sengaja seperti dalam suatu kelompok masyarakat desa yang tertimpa bencana alam erupsi gunung berapi atau banjir sehingga mereka terpaksa dipindahkan dan dengan cara demikian mengubah banyak dari kebiasaan hidup mereka dari sebelumnya.
Namun ada pula perubahan kebudayaan yang memang sengaja direncanakan. Misalnya program bantuan teknis dan kesehatan dari lembaga pemerintah atau swasta sering disertai rencana usaha mengubah kebudayaan dengan suatu cara tertentu. Para ahli antropologi kadang terlibat dalam suatu perencanaan atau pelaksanaan perubahan yang telah ditetapkan.
Sebagai suatu ilmu akademis, antropologi budaya mengutamakan pencatatan dan analisa kebudayaan bangsa-bangsa lain. Seorang antropolog mungkin turun ke lapangan untuk hidup bersama dan menulis mengenai kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Akan tetapi ia hanya sedikit mencampuri kebudayaan tersebut dan mungkin tak akan mencoba untuk mengubahnya secara sadar. Sebaliknya, pada antropologi terapan tujuan kerja lapangannya adalah untuk memperkenalkan suatu perubahan tertentu pada cara hidup suatu masyarakat.
Umumnya program yang dilakukan adalah makanan pokok baru, sistem sanitasi, program kesehatan, pendidikan atau proses pertanian. Oleh karena itu di dalam ilmu antropologi, bagian ilmu yang diterapkan dapat disamakan kedudukannya dengan ilmu teknik dalam ilmu fisika. Sebagaimana supaya efektif ilmu teknik tergantung pada pengetahuan seorang sarjana fisika tentang hukum-hukum alam. Demikian pula antropologi yang diterapkan tergantung pada pengetahuan seorang ahli antropologi mengenai hukum-hukum yang menguasai aneka ragam kebudayaan dan perubahan kebudayaan.
Dewasa ini, antropologi terapan banyak digunakan di berbagai kegiatan-kegiatan pemberdayaan sosial yang dilaksanakan oleh instansi perusahaan swasta sebagai suatu bentuk tanggungjawab sosial. Namun, tak banyak keterlibatan ahli antropologi dalam proyek program tersebut. Menurut Carol dan Melvin Ember (1973), ini dikarenakan adanya kekurang-sepahaman antara ahli antropologi dan para administrator program. Umumnya para administrator merasa para ahli antropologi kurang bisa bekerja cepat dalam memberikan laporan teknis untuk dapat digunakan dan terlalu bersimpati pada persoalan masyarakat yang menjadi objek penelitian. Begitu pula para ahli antropologi cenderung memandang para administrator sebagai birokrat korporasi itu tak acuh hendak menerapkan perubahan dalam waktu yang terlalu singkat dan mengharapkan hasil-hasil yang luar biasa, juga tak peka terhadap persoalan-persoalan dari masyarakat yang hendak diteliti.
Dari berbagai kajian antropologi terhadap kasus-kasus yang terjadi, banyak kesulitan serta kekacauan sering dihadapi oleh orang-orang yang berusaha mengadakan perubahan dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan sendiri, terlepas mereka itu pemerintah, korporasi, lembaga sosial. Hal tersebut akan dapat diminimalisir bila dalam kegiatan itu dipekerjakan ahli-ahli antropologi yang mampu mengenal wilayah yang sedang dipelajari.
Secara realistis, kehidupan budaya manusia dapat dicampuri hingga taraf tertentu. Karena setiap warga masyarakat pada umumnya di”campuri” oleh deretan panjang manusia lainnya. Termasuk orang tuanya, guru-gurunya, pemerintahnya, dan seterusnya. Semuanya berusaha melakukan perubahan perubahan tertentu dalam kehidupannya. Namun, bagi sebagian ahli antropologi bila mencampuri kehidupan suatu kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya dengan kebudayaan sendiri belum tentu berhasil dan juga dampak dari ikut campur itu hanya berupa dugaan.
Disarikan dari sumber:
T.O Ihromi (ed.). 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia